Sabtu, 28 Juni 2025 | Dusun I, Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol
Sabtu sore, 28 Juni 2025, warga Dusun I Desa Winangun berkumpul di rumah Mama Ino, Blok A, dalam suasana yang sarat keprihatinan. Pertemuan ini difasilitasi secara swadaya oleh warga yang terdampak, sebagai bentuk solidaritas atas bencana banjir yang terus berulang dan semakin mengancam kehidupan mereka—baik rumah tinggal maupun lahan pertanian.
Banjir Berulang, Harapan yang Terendam
Dalam sebulan terakhir, banjir telah terjadi sebanyak tiga kali: pada 6, 11, dan terakhir 26 Juni 2025. Banjir terbaru menggenangi permukiman di sekitar rumah Opa Rafael, Mama Melda, Maria Goritibabo, hingga Pak Yukundianus. Air masuk ke dalam rumah, merusak perabot, dan menyisakan lumpur serta trauma yang belum reda.
Namun yang paling parah adalah dampaknya terhadap lahan pertanian. Sekitar 38 hektare sawah warga terdampak, dengan 12 hektare mengalami kerusakan berat. Sedikitnya 22 petani mengalami kerugian langsung, termasuk Noko Datuela, Kasmir, Ignasius, Hermengildul Sega, Finsensius, Lasarus Nebo, Kasman, Ferimeos, Donatus Dolo, Silvester T.A (1 ha), Dominikus Kolo, Yohanes Berto, Edel Trudis, Yukundianus, Heronimus Leo, Benediktus Lane, Agustinus Feri, Wilhelmus Holo, Beletidus Lange, Rafael Raja (1 ha), Yeswaldul Beria, Nikolaus Dando, dan Heribertus Gajo.
Yang membuat situasi semakin memprihatinkan, sawah-sawah tersebut sebagian besar merupakan lahan pertanian organik yang dikelola secara kolektif dan berkelanjutan oleh kelompok tani lokal. Dalam musim tanam Desember 2024 hingga April 2025, mereka mengalami gagal panen total. Dari hasil normal sebesar 30–40 karung gabah per 0,5 hektare, panen tahun ini hanya menghasilkan antara 0 hingga 8 karung. Kerugian ekonomi ditaksir mencapai Rp10 juta per petani, belum termasuk biaya produksi yang mencapai lebih dari Rp5,7 juta untuk setiap musim tanam.
Penyebab dan Usulan Solusi
Dalam diskusi, warga menyampaikan analisis kolektif terkait penyebab banjir. Mereka menyebut bahwa intensitas banjir meningkat seiring meluasnya perkebunan sawit di wilayah hulu. Penurunan daya serap tanah, pendangkalan drainase alami akibat sedimentasi dari pegunungan, serta saluran pembuangan yang tersumbat oleh limbah dan pelepah sawit, menjadi pemicu utama. Dulu banjir adalah hal langka—sekarang menjadi rutinitas bulanan, bahkan bisa lebih sering saat musim hujan.
Warga mengusulkan tiga langkah penanganan yang mendesak:
- Pembangunan saluran drainase baru sepanjang 500 meter, dimulai dari belakang rumah Wilhelmus Kolo, melewati lorong gereja, hingga depan rumah Oma Rina (Jembatan di Jalan Poros Dusun Satu)
- Normalisasi saluran air lama sepanjang 1.500 meter, dari Lahan 1 Mama Melda ke jembatan depan rumah Oma Rina, hingga ke titik pembuangan terakhir di Sungai Bukal.
- Pembangunan kembali embung dan cek dam yang sebelumnya telah dibangun namun rusak sejak tahun 2000 dan tak lagi berfungsi. sebagai kontrol air, sekaligus pengairan sawh ketika musim kemarau.
Pertemuan Jaringan Jaga Deca dengan Pemerintah Desa
Sehari sebelum pertemuan warga, tim dari Jaringan Jaga Deca melakukan dialog dengan Kepala Desa Winangun untuk membahas solusi jangka menengah dan jangka panjang atas banjir yang terus berulang. Fokus utama adalah penyelamatan pertanian pangan organik di Dusun I, yang selama ini menjadi salah satu inisiatif pertanian ramah lingkungan yang sedang dikembangkan di wilayah dampingan Jaga Deca.
Dalam pertemuan tersebut, tim Jaga Deca mempertanyakan kemungkinan penggunaan alokasi Dana Desa sebesar 20% untuk ketahanan pangan, sebagaimana diatur dalam regulasi pemerintah, untuk membantu menangani dampak banjir dan menyelamatkan pertanian warga.
Kepala desa menyambut usulan tersebut dengan menyampaikan bahwa pihaknya telah merencanakan program normalisasi aliran sungai di Dusun I menggunakan Dana Desa. Ia juga menambahkan bahwa pembangunan jembatan plat (deker) di jalan poros desa telah masuk dalam rencana Pemerintah Kabupaten Buol, dan akan mulai dilaksanakan pada September atau Desember 2025.
Jaga Deca menyambut baik respons tersebut, dan menyatakan komitmennya untuk terus mendampingi warga Desa Winangun. Termasuk, jika diperlukan, melakukan koordinasi dan advokasi lebih lanjut di tingkat kabupaten, agar penanganan banjir dilakukan secara menyeluruh dan berkeadilan.
Dukungan Simbolik dan Solidaritas
Sebagai bentuk kepedulian awal, Jaringan Jaga Deca juga memberikan bantuan darurat bagi sejumlah keluarga yang rumahnya terdampak langsung banjir. Bantuan tersebut berupa kebutuhan dasar serta obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh warga untuk mencegah penyakit pascabanjir, terutama mengingat buruknya kondisi sanitasi saat air mulai surut.
Penutup
Diskusi warga di Desa Winangun bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan bentuk nyata dari keberdayaan komunitas dalam menghadapi krisis. Banjir yang melanda bukan hanya tentang air yang menggenang, tapi juga soal ancaman terhadap sumber penghidupan, kehilangan hasil panen, dan rusaknya ekosistem lokal.
Melalui solidaritas warga dan kolaborasi bersama organisasi pendamping seperti Jaga Deca, harapan tetap tumbuh—bahwa upaya perbaikan bisa dilakukan, bahwa tanah bisa diselamatkan, dan bahwa kehidupan bisa kembali berpijak pada keadilan ekologis dan kedaulatan pangan.
Leave a Reply