Laporan Investigatif Sidang Mada Yunus
Oleh: Tim JAGADECA
Buol, Sulawesi Tengah –
Pada hari Selasa, 8 Juni 2025, ruang sidang Pengadilan Negeri Buol penuh sesak. Udara panas dan pengap menambah tegang suasana ketika seorang pria dengan wajah tenang namun sorot mata tajam duduk di kursi terdakwa. Namanya Mada Yunus. Ia bukan koruptor, bukan perampok, bukan pengacau negara. Ia seorang petani yang menuntut haknya atas tanah, namun berakhir sebagai terdakwa karena dituduh melakukan pendudukan dan penghasutan terhadap perusahaan sawit raksasa: PT. Hardaya Inti Plantations (HIP).
Dalam sidang itu, kuasa hukum Mada menghadirkan Sri Palupi, peneliti dan pendiri Institute for Ecosoc Rights, sebagai saksi ahli. Keterangannya menjadi saksi kunci yang membuka luka struktural industri sawit di Indonesia: tata kelola yang amburadul, kemitraan yang menjerat, dan praktik kriminalisasi terhadap petani yang melawan ketidakadilan.
I. Dari Desa ke Ruang Sidang: Kronik Seorang Petani
Mada Yunus berasal dari salah satu desa kecil di Kecamatan Momunu, Kabupaten Buol. Lahan yang ia garap merupakan tanah warisan keluarga—bukan milik perusahaan. Namun pada akhir 2000-an, lahannya masuk dalam kebun plasma PT HIP. Ia tidak pernah menandatangani surat pelepasan tanah, tidak pernah diajak bicara secara terbuka. Tetapi dalam skema Revitalisasi Perkebunan, kebunnya menjadi bagian dari kemitraan yang kelak akan menghancurkan hidupnya.
Selama lebih dari 10 tahun, Mada tak menerima satu pun hasil panen. Ia tidak tercatat sebagai anggota koperasi. Ia tidak pernah menandatangani akad kredit, Ketika ia bertanya, ia dibungkam. Ketika ia menuntut, ia dikriminalisasi.
“Saya tidak tahu apa-apa. lahan saya ditanami sawit, dua kali saya larang bahkan saya cabut pohon sawitnya, tetapi mereka tetap menamnya, mereka pernah berjani saya dan keluarga saya akan dimasukan dalam anggota koperasi dan menjadi peserta plasma, tapi sampai hari ini tidak ada apa apa. Saya hanya minta kejelasan hak saya gimana di atas tanah itu,” ungkap Mada dalam wawancara dengan tim kami di sela-sela persidangan.
Tragedi keluarga menambah luka Mada. Istrinya mengalami shock berat saat polisi membawa nya ke Polda Sulawesi Tengah. Dalam kondisi itu, Istrinya terpaksa menjalani operasi caesar dan akhirnya meninggal dunia, sementara anknya selamat dan saat ini diasuh oleh adik kandung Mada, sementara tiga anak lainnya—masih bersekolah di SD dan SMP—tinggal bersamanya.
tentusaja, persidangan atas dirinya merupakan beban yang sangat berat yang harus dia hadapi, ditengah masalah masalah lainya, tetapi iya bertekat akan terus berjuang terlebih mengenang mendiang istrinya yang salama ini bersama sama berjuang dan sekarang telah meninggalkannya. Menurutnya pengorbananya dalam berjuang sudah sangat besar sampai harus kehilangan istri, maka ia bertekat akan terus berjuang apapun resikonya sampai ada kemenangan untuk mendaptan hak nya.
II. Tata kelola Sawit yang Buruk
Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Tahun 2022, luas kebun sawit nasional mencapai 17,7 juta hektare, dikuasai oleh 2.389 perusahaan yang tersebar di 26 provinsi. Produk sawit dari negeri ini memenuhi lebih dari 50% kebutuhan pasar global. Dalam perspektif ekonomi makro, angka-angka itu tampak menjanjikan. Tapi di balik gemerlap neraca ekspor dan pertumbuhan industri, tersimpan luka sosial dan ekologis yang mendalam—luka yang kian menganga karena pembiaran negara dan kerakusan korporasi.
Dalam salah satu kesaksian penting di ruang sidang kasus petani Buol, Sri Palupi, pendiri Institute for Ecosoc Rights, memaparkan kondisi tata kelola industri sawit di Indonesia dengan tiga kata kunci: ilegal, eksploitatif, dan impunitas. Data yang ia beberkan bukan sekadar angka, tapi peta luka yang memperlihatkan betapa amburadulnya sistem yang seharusnya melindungi hak rakyat.
Ilegalitas dan Tumpang Tindih Perizinan: Kebun Raksasa yang Tak Punya Dasar Hukum
Indonesia punya jutaan hektare kebun sawit, tapi sebagian besar beroperasi tanpa dasar hukum yang sah. Data yang dikutip Sri Palupi dari berbagai sumber resmi menyebutkan: 2,6 juta hektare kebun sawit tidak memiliki Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan. Hanya 36% kebun sawit yang memiliki izin lengkap (mulai dari Izin Usaha Perkebunan hingga HGU). terdapat 537 perusahaan mengelola 2,5 juta hektare tanpa HGU—padahal HGU adalah dasar hukum atas hak pakai lahan. sementara 3 juta hektare kebun tumpang tindih dengan wilayah pertambangan, dan 3,2 juta hektare tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Ini berarti, dalam praktiknya, banyak perusahaan sawit menjalankan operasional di atas lahan negara atau wilayah adat tanpa dasar hukum yang jelas, dan pemerintah membiarkannya. Dalam konteks konflik agraria, tumpang tindih ini menjadi akar dari banyak perampasan tanah, kriminalisasi, dan kekerasan terhadap warga.
Korupsi dan Ketidakpatuhan Pajak: Negara Rugi, Rakyat Dihisap
Di balik kuasa ekonomi sawit, bersembunyi praktik penghindaran pajak dan korupsi yang sistemik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa 40% perusahaan sawit tidak membayar pajak. Negara kehilangan potensi pemasukan triliunan rupiah setiap tahun.
Pada 2025, terungkap skandal ekspor CPO (minyak sawit mentah) yang melibatkan nama-nama besar seperti Wilmar Group dan Musim Mas. Penyelidikan Kejaksaan Agung menemukan: Suap sebesar Rp60 miliar mengalir kepada hakim dan panitera untuk mengamankan putusan bebas. Kerugian negara akibat manipulasi nilai ekspor dan penggelapan pajak ditaksir mencapai Rp35 triliun.
Ironisnya, perusahaan-perusahaan tersebut tetap beroperasi normal. Tidak ada penutupan pabrik, tidak ada pembekuan izin. Sementara petani yang memblokade kebun karena tidak mendapat bagian hasil malah dijebloskan ke penjara.
Ketimpangan Lahan dan Gagalnya Kemitraan: 92% Dikuasai Korporasi
Skema kemitraan plasma awalnya didesain sebagai jalan tengah antara rakyat dan perusahaan—dengan pembagian lahan, hasil, dan pengelolaan secara adil. Namun yang terjadi adalah kebalikan total dari semangat awalnya. Sri Palupi menjelaskan bahwa: 92% lahan sawit nasional dikuasai korporasi, hanya 8% dikelola masyarakat. Pemerintah memberikan 19 juta hektare konsesi untuk korporasi (logging, HTI, sawit), sedangkan wilayah kelola rakyat hanya 3,1 juta hektare. Di Kalimantan, perusahaan menguasai 24,7 juta hektare, rakyat hanya 1 juta hektare.
Kemitraan menjadi alat untuk menyetor tanah secara ‘sukarela’, lalu membebankan utang, biaya produksi, risiko gagal panen, dan pajak kepada petani. Pembagian hasil yang semula dijanjikan 70:30 kini tak lebih dari angka sepihak di laporan, karena petani tak pernah tahu harga jual, biaya produksi, atau berapa yang seharusnya mereka terima. Koperasi yang dibentuk hanya formalitas. Tak punya kuasa, tak bisa menolak, dan tak bisa mengakses informasi.
Kekerasan dan Kriminalisasi: Negara Melindungi Modal, Bukan Rakyat
Data yang dikompilasi dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), LBH, dan Koalisi masyarakat sipil menunjukkan betapa resiko memperjuangkan tanah sangat tinggi di Indonesia.
Dalam rentang waktu:
- 2007–2010: 23 petani tewas, 668 dikriminalisasi, 82.726 keluarga digusur.
- 2023: 252 orang dikriminalkan, 52 dianiaya, 2 ditembak, 3 tewas.
- 2024: 45 penangkapan, 34 kasus kriminalisasi, 11 serangan fisik terhadap petani.
Kriminalisasi bukan hanya bentuk represi, tapi juga pesan teror terhadap warga desa lainnya. Dalam kasus Mada Yunus, petani di Buol yang ditangkap karena aksi damai menghentikan panen, jaksa tak mampu membuktikan tuduhan di sidang ke-14. Tapi proses hukum tetap berjalan.
Sementara itu, 9 laporan petani terhadap perusahaan sawit tak diproses oleh Polres Buol. Bahkan setelah dilaporkan ke Kompolnas, hanya dijawab: “akan digelar perkara”—jawaban kosong yang sudah satu tahun tak kunjung diwujudkan.
Deforestasi dan Kebakaran Lahan: Korban Ekologis yang Tak Tertulis
Industri sawit juga bertanggung jawab atas deforestasi besar-besaran dan kebakaran hutan yang nyaris terjadi setiap tahun. Mayoritas kebakaran ditemukan di dalam konsesi perusahaan, yang menggunakan metode bakar lahan untuk efisiensi pembukaan kebun. Kombinasi ini menciptakan:
Lahan kritis dan rusak permanen, Polusi udara masif (asap), Kerusakan habitat satwa liar, Dan hilangnya sumber pangan dan air masyarakat adat dan petani kecil.
Namun seperti isu lainnya, kerusakan ekologis akibat sawit tidak pernah benar-benar ditindak. Pemerintah cenderung menyalahkan cuaca ekstrem atau kebakaran liar, bukan menyentuh korporasi penyebabnya.
III. Kemitraan Sawit: Dari Janji Kemakmuran ke Jerat Hutang
Skema kemitraan sawit muncul sejak Orde Baru, dengan empat pola utama: PIR-BUN, PIR-Trans, KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) danRevitalisasi Perkebunan – model yang paling eksploitatif.
PT. HIP di Buol menggunakan model Revitalisasi yang menyerahkan seluruh pengelolaan kebun kepada perusahaan. Petani tidak pernah tahu jumlah produksi, biaya operasional, atau rincian utang. Semua informasi dikuasai sepihak oleh perusahaan.
Menurtu Seny, juru bicara Forum Petani Plasma Buol (FPPB) Antara tahun 2008 hingga 2011, perusahaan bersama aparat pemerintah setempat membentuk tujuh koperasi tani sebagai bagian dari skema kemitraan inti-plasma. Dari luar, pembentukan koperasi ini tampak sebagai bentuk organisasi petani yang modern—seolah-olah menjadi wadah perjuangan ekonomi dan kemandirian. Tapi di lapangan, prosesnya jauh dari prinsip musyawarah. Nama koperasi ditentukan dari atas. Susunan pengurus ditetapkan tanpa pemilihan yang terbuka. Dan yang paling fatal, para petani sebagai pemilik tanah tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam pembentukan dan pengelolaannya.
Berikut daftar ketujuh koperasi yang dibentuk dalam kurun waktu tersebut:
Dari ketujuh koperasi itu, hanya satu yang menggunakan skema Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), yakni Koperasi Plasa. Skema KKPA adalah pola lama yang umumnya digunakan dalam kemitraan sawit pada awal 2000-an. Dalam skema ini, petani seolah mendapat kredit lunak dari bank, tetapi seluruh prosesnya dikendalikan oleh perusahaan—mulai dari pengajuan kredit, pembangunan kebun, hingga pemotongan hasil panen untuk membayar utang.
Sementara enam koperasi lainnya, termasuk Koperasi Amanah dan Bersama, menggunakan skema Revitalisasi Perkebunan, program yang digagas pemerintah pada era 2006 ke atas. Program ini bertujuan mempercepat pembangunan kebun rakyat melalui kemitraan dengan perusahaan besar dan pembiayaan dari bank. Namun dalam praktiknya, hanya dua koperasi—Amanah dan Bersama—yang benar-benar mendapatkan pembiayaan melalui bank. Sisanya, seperti Awal Baru, Bukit Pionoto, Idaman, dan Fisasbilillah, tak pernah mendapat kejelasan tentang aliran kredit. Tapi utang tetap dibebankan seolah-olah mereka menerima fasilitas yang sama.
Dalam kemitraan sawit antara tujuh koperasi petani dan PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, muncul persoalan fundamental yang membelenggu petani: jerat utang dalam sistem gelap dan tidak transparan. berikut adalah grafik utang koperasi.
1. Kredit Bank tanpa Persetujuan Petani
Skema pembiayaan pembangunan kebun plasma dilakukan melalui pinjaman bank, namun pengajuan kredit dilakukan atas nama koperasi, bukan petani langsung. Ironisnya, banyak petani tidak dilibatkan dan bahkan tidak tahu bahwa nama mereka digunakan untuk berutang. Mereka tidak pernah menandatangani akad kredit, tidak tahu nilai pinjaman, jangka waktu, atau bunga yang dikenakan.
2. Dana Tidak Pernah Dipegang Petani
Dana kredit tidak pernah sampai ke tangan petani. Uang masuk ke rekening koperasi, tetapi seluruh pengelolaannya dilakukan sepihak oleh perusahaan—mulai dari pembukaan lahan, penanaman, hingga penjualan hasil kebun. Tidak ada laporan keuangan, tidak ada transparansi, tidak ada kontrol dari koperasi, apalagi petani.
3. Koperasi Dibebani Utang Fantastis
Dari tujuh koperasi, hanya dua yang menggunakan skema kredit bank Koperasi Amanah (utang awal: Rp25 miliar, tiba-tiba naik menjadi Rp364 miliar), sementara Koperasi Bersama (jumlah utang tidak transparan) Yang paling mencolok. Koperasi Plasa awalnya memiliki utang Rp11,2 miliar (lunas 2015), namun pada 2020 tiba-tiba diklaim memiliki utang Rp302 miliar tanpa bukti dan penjelasan.
4. Total Utang Melebihi Rp1 Triliun
Berdasarkan dokumen resmi per Agustus 2020, total utang yang dibebankan ke tujuh koperasi adalah Rp1.079.235.633.318. Seluruh beban ini ditanggung atas nama koperasi, meskipun petani sebagai anggota tidak pernah menyetujui, mengetahui, atau mengelola pinjaman tersebut.
5. Sertifikat Lahan Dijadikan Jaminan Diam-diam
Dalam kasus Koperasi Amanah, perusahaan bahkan mengambil alih utang koperasi dari Bank Mandiri senilai Rp8,8 miliar, dan menjadikan sertifikat tanah petani sebagai jaminan. Proses ini dilakukan tanpa pemberitahuan kepada petani, setelah perusahaan membiarkan kredit koperasi macet selama sembilan bulan.
Kemitraan sawit yang dijanjikan sebagai solusi bagi petani justru berubah menjadi perangkap utang yang mengikat dan eksploitatif. Utang dijadikan alat kendali: untuk menguasai tanah, menekan perlawanan, dan mempertahankan dominasi perusahaan atas kebun plasma.
Tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas, dan tanpa keadilan, petani terjebak dalam sistem yang mereka tidak pernah sepakati. Di atas nama “kemitraan”, berlangsung praktik yang pada hakikatnya adalah penghisapan dan pengambilalihan lahan secara terselubung.
IV. Kriminalisasi: Negara di Pihak Siapa?
Tak ada jalan lain bagi Mada Yunus dan beberapa petani lain ketika suara mereka diabaikan, janji-janji tak dipenuhi, dan lahan mereka terus dieksploitasi tanpa kepastian. Maka mereka memilih langkah terakhir yang masih mereka miliki: aksi damai. Pada suatu pagi, Mada dan sejumlah warga menghentikan aktivitas panen di kebun plasma yang berada di atas tanah yang mereka klaim sebagai milik sendiri. Tak ada kekerasan. Tak ada senjata. Yang ada hanya keputusasaan yang dijelmakan menjadi protes diam: panen harus dihentikan sampai ada kejelasan.
Namun bukannya duduk bersama dan berdialog, perusahaan justru memilih jalur kriminalisasi. Mada dilaporkan ke polisi dan dituduh melanggar pasal penghasutan dan pendudukan secara melawan hukum. Tuduhan itu berat, setara dengan tindakan subversif, padahal yang terjadi hanyalah seorang petani miskin yang mempertanyakan haknya atas tanah.
Proses hukum berjalan cepat dan janggal. Dalam sidang ke-14, satu per satu saksi dari pihak jaksa dihadirkan. Tapi tak satu pun bisa memastikan bahwa Mada melakukan penghasutan. Barang bukti yang diajukan di ruang sidang—selembar terpal, beberapa batang bambu, dan sebuah belanga—ternyata bukan milik Mada, melainkan milik warga lain. Tapi aparat dan jaksa tetap bersikeras. Seolah yang penting bukan kebenaran, tetapi bahwa ada “pelaku” yang bisa dihukum.
“Kasus ini sangat dipaksakan,” tegas Seny, juru bicara Forum Petani Plasma Buol (FPPB), yang mengikuti setiap persidangan.
“Perusahaan hanya ingin ada yang dikorbankan. Supaya petani lain takut. Tapi kami tidak akan mundur.”
Yang membuat luka semakin dalam adalah ironi dalam sistem hukum. Selama lebih dari satu tahun, sembilan laporan yang diajukan oleh para petani terhadap PT HIP—yang memuat dugaan penggelapan hasil, penguasaan tanah secara sepihak, bahkan kekerasan oleh aparat pengamanan perusahaan—tak satu pun ditindaklanjuti oleh Polres Buol. Tidak ada penyelidikan. Tidak ada pemanggilan. Tidak ada berita acara.
Bahkan ketika para petani mengadu ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), jawaban yang diterima hanya: “akan digelar perkara untuk menilai kelanjutan laporan.” Sebuah jawaban formal yang hingga kini belum ditindaklanjuti. Seolah keadilan hanya berjalan satu arah: tajam ke petani, tumpul ke korporasi.
V. KPPU dan Brimob: Hukum yang Tak Tajam ke Atas
Dalam perkara terpisah, PT HIP dinyatakan bersalah oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena melanggar prinsip kemitraan. Lebih parah lagi, setelah putusan KPPU dibacakan, perusahaan justru mendatangkan aparat Brimob untuk menjaga kebun dan menekan aksi warga. Hingga hari ini, Brimob masih berjaga di lokasi.
Sementara putusan KPPU sudah memiliki kekuatan hukum tetap, keberatan pihak HIP atas putusan KPPU ditolak pengadilan Niaga dan tidak ada kasasi di Makamah Agung. atas pelanggaran HIP terhadap pasal 35 ayat (1) Undang Undnag Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM, KPPU menjatuhkan denda 1 milyar dan perintah perbaikan, termasuk Audit keuangan koperasi amanah dari tahun 2008 sampai 2023. namun hingga saat ini tidak ada perubaan yang berarti dilakukan oleh PT. HIP.
VI. Epilog: Mada Bukan Sendiri
Mada Yunus bukan satu-satunya. Di balik namanya, ada ribuan Mada lainnya di Indonesia: petani plasma yang tak pernah melihat untung dari kemitraan sawit. Mereka menyerahkan tanah, lalu ditinggalkan. Mereka bertanya, dijawab dengan teror. Mereka melawan, dijerat hukum.
Tetapi Mada tidak sendiri. Ia adalah bagian dari barisan panjang rakyat yang mulai sadar bahwa tanah bukan hanya soal produksi, tapi juga soal martabat. Dan jika negara terus memihak korporasi, maka perlawanan tidak akan padam—ia akan menyala di kebun-kebun sawit yang dulu dijanjikan sebagai kebun harapan.
Catatan tim:
Laporan ini disusun berdasarkan dokumen persidangan, kesaksian Sri Palupi, wawancara mendalam dengan warga, data resmi dari KPA, KPK, Forest Watch Indonesia, serta temuan lapangan tim advokasi JAGADECA.
Leave a Reply