CERITA PEREMPUAN TANGGUH DARI BUOL

Dari Sesi “Berbagi Cerita dan Luka” | Workshop Penguatan dan Perlindungan Perempuan Pembela HAM, Tanah, dan Lingkungan  26–28 Mei 2025 | King Five Resort, Negeri Lama, Buol
Diselenggarakan oleh Jaringan JAGA DECA

Di balik perjuangan mempertahankan tanah, tersembunyi kisah-kisah perempuan yang memikul beban berlapis. Mereka adalah ibu, istri, pencari nafkah, dan pembela hak. Dalam sesi “Berbagi Cerita dan Luka”, sesi ini untuk membuka ruang aman bagi peserta untuk berbagi pengalaman pibadi, membangun kesadaran kolektif tentang bentuk bentuk ketidak adilan yang dialami dan memulai proses pemulihan dan solidaritas melalui cerita.

“Dalam sesi ini, partisipan saling mendengarkan cerita. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami. Luka yang dibagikan bukan tanda kelemahan, tapi kekuatan.  semua punya pengalaman berharga yang bisa jadi pelajaran dan penguat bagi yang lain.”

berbagi cerita ini bersifat sukarela, peserta hanya akan menceritakan apa yang dirasa penting untuk diceritakan. ruang cerita merupakan ruang aman dan tidak dibagikan tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Hampir semua peserta menyuarakan pengalaman pahit dan kekuatan yang tumbuh dari luka. Cerita-cerita ini adalah potret keteguhan dan keberanian perempuan dari Buol yang terus bertahan di tengah ketidakadilan. Inilah beberapa kisah dari mereka:

YOLA: DUA PERAN, SATU PERJUANGAN

Saya Yola. Ibu dari tiga anak perempuan, istri dari seorang pria yang pernah bekerja sebagai satpam di PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) selama 20 tahun. Hidup kami berubah drastis pada 1 Juli 2021. Hari itu, suami saya baru saja makan siang usai berjaga di kebun plasma Koperasi Awal Baru di Desa Balau. Tiba-tiba ia rebah, tidak sadarkan diri. Teman-temannya segera membawanya ke klinik perusahaan, tapi kondisinya tak membaik. Ia dirujuk ke RS di Buol, lalu ke Gorontalo. Di sana, dokter menyatakan ia mengidap Covid-19 dan stroke.

Sejak saat itu, hidup kami berubah. Saya yang sebelumnya ibu rumah tangga, harus mengambil alih segalanya. Saya menjadi kepala keluarga, sekaligus perawat untuk suami yang lumpuh, dan ibu bagi anak-anak yang sedang berjuang menyelesaikan pendidikan mereka di Malang, Jawa Timur.

Tantangan datang silih berganti. Saya harus membagi waktu, tenaga, dan emosi. Tapi saya tidak menyerah. Setiap malam, saya berdoa agar diberi kekuatan. Saya ingin anak-anak saya bisa menamatkan sekolahnya, saya ingin suami saya membaik. Dan saya bersyukur, tanggal 26 April 2025, anak saya berhasil meraih gelar sarjana S1.

Suami saya, meski sakit, tidak pernah melarang saya bergabung dalam perjuangan mempertahankan tanah kami dari cengkeraman perusahaan. Bahkan ia mendukung penuh. Katanya, ini bukan sekadar soal tanah, tapi soal harga diri. Ia percaya pada saya, dan saya percaya perjuangan kami akan membuahkan hasil.

MAYA: AIR MATA DI BAWAH POHON SAWIT

Namaku Maya. Suamiku pernah bekerja di PT. Hardaya Inti Plantations, di bagian pabrik pengolahan. Ia bekerja di sana sejak 1998, dan pada 2021, ia memutuskan berhenti. Ia berharap ada pesangon, semacam penghargaan setelah belasan tahun mengabdi. Tapi kata perusahaan, tidak ada. Katanya undang-undangnya sudah tidak berlaku.

Kami kecewa. Tapi hidup harus jalan terus. Suamiku memilih merantau ke Morowali, lalu ke Kalimantan. Aku tinggal di rumah bersama anak-anak. Sejak itu, semua aku tangani sendiri: pekerjaan rumah, mengurus kebun, merawat ternak. Aku juga harus menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak-anakku.

Sering kali aku menangis. Tapi bukan di rumah. Aku tidak mau anak-anakku tahu ibunya lemah. Biasanya aku menangis di bawah pohon sawit, saat memindahkan sapi sendirian. Tangisan diam-diam itu jadi pelipur sejenak.

Lalu datanglah perjuangan. Kami menuntut hak atas tanah yang dimitrakan dengan PT. HIP. Walau nama saya tidak tertera di sertifikat, saya tetap ikut aksi-aksi. Saya tahu, ini juga tanah saya. Ketika ada pengurus koperasi berkata, “Kalau tidak ada nama, jangan ikut demo,” saya tidak peduli. Saya tidak takut. Ancaman tak akan menghentikan langkah saya.

Anak-anakku tumbuh besar tanpa banyak pelukan dari ayahnya. Tapi saya yakin, cinta bisa saya sampaikan dengan keberanian. Saya tidak ingin mereka mewarisi rasa takut, saya ingin mereka mewarisi semangat untuk melawan ketidakadilan.

MIA: RUMAH YANG RUNTUH KARENA PERJUANGAN

Saya Mia. Tahun 2021 hingga 2023, saya dan suami berjuang menuntut hak atas tanah kami yang dimitrakan dengan PT. HIP. Tapi tidak ada hasilnya. Suami saya akhirnya dipenjara pada 2021 karena aksi protes. Saya masih ingat, anak bungsu saya baru berusia 3 tahun saat ayahnya masuk penjara tahun 2022.

Setelah ia bebas, saya kira kami akan kembali bersama. Tapi ternyata ia pergi, meninggalkan saya dan keempat anak kami. Tak lama kemudian, kami resmi bercerai. Rasanya dunia runtuh. Tiga puluh tahun kami hidup damai dan bahagia, tapi semuanya hancur karena perjuangan ini.

Namun saya tidak menyerah. Saya terus ikut aksi, rapat, dan diskusi. Saya ingin anak-anak saya tahu, ibunya tidak lari dari kenyataan. Anakku yang ketiga sekarang kuliah di Yogyakarta. Biayanya besar. Saya kerja serabutan, kadang utang, tapi saya tidak berhenti.

Saya percaya, perjuangan ini akan membuahkan hasil. Kalau bukan untuk saya, setidaknya untuk anak-anak saya.

ERI: PERJUANGAN YANG MENDAPAT RESTU SUAMI

Yang paling menyedihkan dalam hidup saya adalah saat kedua orang tua saya meninggal dunia, dan saya tidak berada di samping mereka. Tapi saya sadar, saya sedang berada di medan lain—perjuangan mempertahankan hak.

Saya dan suami bergandengan tangan dalam perjuangan ini. Kami sering dipojokkan, dilemahkan, bahkan diadu domba. Tapi kami tetap berdiri. Kami percaya, selama kita bersama dan saling menguatkan, tidak ada yang tidak mungkin.

Perjuangan ini bukan soal untung rugi. Ini tentang martabat. Tentang hak yang harus dikembalikan. Tentang tanah yang diwariskan, bukan untuk dijual, tapi untuk diteruskan kepada anak cucu.

YANA: PENYESALAN YANG MENJADI API PERLAWANAN

Saya datang ke Buol awalnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Bersama keluarga, kami pindah dan membeli tanah. Saat itu, kami tergiur janji-janji manis program kemitraan sawit bersama PT. HIP. Katanya akan sejahtera, katanya hasil kebun akan dibagi.

Tapi setelah 16 tahun, semua itu bohong. Kami tidak mendapatkan hasil apa pun. Malah lahan kami seolah-olah hilang, dikuasai perusahaan. Kami rugi besar, dan tidak tahu harus mengadu ke mana.

Saat mulai bersuara, intimidasi datang. Aparat bersenjata mendatangi rumah. Intel-intel menanyai suami saya. Teman-teman saya dilaporkan ke polisi, bahkan ada yang disidangkan. Kami rutin datang ke sidang untuk memberikan dukungan. Solidaritas kami justru makin kuat.

Saya sering bertanya-tanya: apakah pemilik perusahaan tidak punya hati? Apakah ia tahu bahwa petani yang ia tipu menjadi miskin karena program yang ia buat?

Tapi perjuangan ini tak sia-sia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan perusahaan bersalah. Enam bulan terakhir, kami mulai menerima bagi hasil. Memang kecil—hanya Rp100.000 sampai Rp200.000 per bulan per hektar—tapi itu hasil dari tekanan kolektif.

Saya menyesal pernah ikut program plasma. Tapi saya tidak menyesal telah melawan ketidakadilan ini.

SURTY: DIANTARA PERNIKAHAN, BURUH, DAN PERJUANGAN

Saya korban kekerasan rumah tangga. Suami pertama saya menguras harta saya lalu pergi entah ke mana. Dua tahun lalu, saya dinikahi Pak Haji Anto, dengan janji akan hidup lebih baik.

Tapi kenyataan berbeda. Sesampainya di Sulawesi, hak-hak yang dijanjikan justru dikuasai oleh anak-anak suami saya. Kami memiliki lahan yang dimitrakan dengan PT. HIP, tapi tidak ada bagi hasil yang kami terima. Saya ikut dalam perjuangan, meski menghadapi penolakan di dalam rumah sendiri.

Saya dijanjikan 10 hektar hak lahan. Tapi sejak suami saya sakit, semua saya urus sendiri—termasuk aksi-aksi, rapat, dan protes. Ketika perusahaan mulai memberikan bagi hasil, anak-anak suami saya mengambil alih. Saya tidak mendapat apa-apa.

Sekarang saya bekerja sebagai buruh dan berdagang di pasar untuk hidup. Harapan saya sederhana: semoga hak saya dikembalikan. Saya ingin anak saya bisa melanjutkan pendidikan dan menjadi sarjana. Saya percaya, perempuan juga berhak mendapat tempat di dalam rumah, di ladang, dan di ruang-ruang perjuangan.

LUKA YANG MENUMBUHKAN KEKUATAN

Cerita-cerita ini adalah potret perempuan tangguh yang tidak hanya memikul beban rumah tangga, tapi juga berdiri melawan ketidakadilan. Mereka tidak menyerah pada nasib. Mereka bergerak, bersuara, dan terus memperjuangkan tanah dan kehidupan yang layak. Di tengah luka, mereka menemukan kekuatan.

“Kami perempuan. Kami bukan hanya penjaga rumah, tapi juga penjaga tanah, penjaga kehidupan.”

Dari sesi berbagi certa dan Luka, dibutuhkan kerangkan kerja Jaringan keamanan dan perawatan bagi para perempuan pembela HAM dan Lingkungan. yang pada sesi akhir Workshop disusun secara bersama.

Seluruh nama nama diatas yang membagikan cerita dibuat bukan nama yang sebenarnya.