Dari Buol ke Bangkok: Catatan Fatrisia Ain di Forum PBB tentang Bisnis dan HAM 2025

oleh Fatrisia Ain – Jaringan Jaga Deca / Forum Petani Plasma Buol

Lampu putih menyinari panggung besar di United Nations Conference Centre (UNCC), Bangkok. Di hadapan saya duduk para diplomat, menteri, peneliti, dan aktivis dari berbagai negara Asia-Pasifik. Tema besar forum itu terpampang di layar: “Anchoring Progress and Strengthening Regional Leadership on Human Rights through Crisis.”

Saya datang dari tempat yang jauh — dari desa-desa kecil di Buol, Sulawesi Tengah. Datang bukan membawa dokumen kebijakan, tapi membawa suara masyarakat yang selama ini jarang didengar: suara petani, perempuan, dan buruh perkebunan yang hidupnya berubah karena proyek dan bisnis yang tak adil.

Forum ini, The 2025 United Nations Responsible Business and Human Rights Forum (UN RBHR), mempertemukan berbagai pihak untuk mencari cara memperkuat penghormatan terhadap HAM dalam praktik bisnis. Dikoordinasikan oleh lembaga-lembaga PBB seperti ILO, IOM, OHCHR, UNDP, UN Women, UNEP, UNICEF, dan UN Working Group on Business and Human Rights, forum ini membahas empat tema besar — mulai dari kebijakan dan regulasi, rantai pasok, perlindungan, hingga keberlanjutan.

Namun, di balik semua istilah dan kerangka kerja itu, saya membawa satu pesan sederhana: tidak ada bisnis yang benar-benar berkelanjutan jika rakyat di bawah terus kehilangan tanah dan martabatnya.

Saya menjadi pembicara dalam sesi pembukaan berjudul “Regional Leadership in Action: National Action Plans as Pathways to Stronger Standards.”
Di panggung itu, saya duduk sejajar dengan para menteri dan peneliti dari empat negara. Tapi saya tidak datang dengan bahasa akademik atau diplomatik. Saya bicara dengan suara yang lahir dari pengalaman.

“Masyarakat adat, perempuan, pekerja migran, dan penduduk desa adalah pihak yang paling merasakan dampak pelanggaran HAM. Tapi mereka jarang diajak bicara sejak awal. Ketika ada konsultasi, sering kali hanya formalitas—singkat, teknis, top-down—dan jauh dari kenyataan hidup mereka.”

Saya menceritakan apa yang kami alami di Sulawesi Tengah: perampasan lahan oleh perkebunan sawit, pencemaran lingkungan, dan kerusakan ruang hidup akibat industri ekstraktif seperti nikel. Padahal, sudah ada kebijakan nasional seperti Perpres No. 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM, dan MoU antara Pemprov Sulteng dan Kementerian Hukum dan HAM RI (April 2025) untuk penyelesaian konflik agraria berbasis HAM.
Tetapi di lapangan, kebijakan itu belum berpihak kepada rakyat yang terdampak langsung.

Saya katakan di forum itu dengan lantang:

“Framework hanya akan efektif bila diciptakan bersama masyarakat yang paling terdampak. Tanpa itu, semua mekanisme HAM hanya menjadi latihan administratif—sekadar centang kotak—tanpa perlindungan nyata bagi komunitas.”

Ruangan seketika hening. Saya melihat beberapa peserta mencatat, dan seorang diplomat Jepang mengangguk perlahan. Saat itu, saya merasa suara dari Buol benar-benar menembus ruang global.

Beberapa hari kemudian, saya kembali naik ke podium dalam sesi “A Rights-Holder Led Approach to Corporate Accountability: Lessons from Grassroots Movements in India and Indonesia.”
Saya berbicara bersama Prashant Paikray, juru bicara Gerakan Anti Jindal di India. Kami berdua membawa cerita yang berbeda tapi serupa: tentang rakyat kecil yang bertahan melawan kekuatan korporasi besar.

Saya bercerita tentang para petani dan perempuan di Buol yang berjuang mempertahankan tanah, tentang Forum Petani Plasma Buol (FPPB) yang terus menuntut keadilan, dan tentang kemenangan-kemenangan kecil yang lahir dari keteguhan kolektif.

“Kami di desa menyaksikan hutan hilang, tanah dirampas, sumber air tercemar, dan banyak yang terpaksa bermigrasi. Tapi kami belajar: kalau hanya menunggu pemerintah, penyelesaian tidak akan datang. Maka kami memilih perjuangan kolektif, meski kecil, tapi nyata.”

Dari pertemuan itu, saya belajar banyak hal. Bahwa ketahanan masyarakat akar rumput adalah bentuk akuntabilitas paling sejati. Bahwa undang-undang Uji Tuntas HAM (mHRDD) perlu dibuat mengikat secara hukum agar pencegahan pelanggaran menjadi prioritas. Bahwa FPIC (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan) bukan sekadar jargon, tapi hak dasar masyarakat. Dan bahwa solidaritas antarnegara — antara petani di Indonesia dan komunitas di India — bisa melahirkan kekuatan baru.

“Kekuatan gerakan kami tidak lahir dari pendanaan atau sorotan media, tapi dari keyakinan menjaga masa depan kami sendiri.”

Namun, berbicara di forum dunia bukan tanpa risiko. Saya tahu benar bahwa menjadi pembela HAM dari desa berarti siap menghadapi pengawasan, tekanan, bahkan kriminalisasi. Di tempat kami, laporan kejahatan korporasi sering dibalas dengan gugatan balik (SLAPP) dan intimidasi. Tapi saya juga tahu, diam berarti menyerah pada ketidakadilan.

Selain berbicara di sesi resmi, saya memanfaatkan waktu di Bangkok untuk melakukan pertemuan bilateral dengan pejabat OHCHR, UN Working Group on BHR, dan beberapa UN Special Rapporteurs. Di pertemuan itu, saya menyampaikan kritik tajam: bahwa mekanisme HAM internasional masih sulit diakses oleh masyarakat desa; bahwa sertifikasi “sustainability” untuk perusahaan sering kali tidak nyata di lapangan; dan bahwa aparat bersenjata masih kerap digunakan untuk menekan warga atas nama proyek strategis nasional.

Saya sampaikan juga bahwa tanpa sanksi yang tegas terhadap korporasi dan investor asing yang melanggar HAM, seluruh prinsip akuntabilitas hanya tinggal slogan.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa perjuangan lokal dan global tidak terpisah.
Apa yang kami alami di Buol — konflik agraria, eksploitasi alam, ketimpangan kekuasaan — juga dirasakan oleh komunitas di India, Filipina, dan banyak negara Asia lainnya.
Krisis iklim, transisi energi, dan perdagangan internasional semuanya terhubung pada pertanyaan sederhana: siapa yang menanggung biayanya?

Dan jawabannya selalu sama — rakyat di bawah.

Karena itu, solidaritas menjadi sangat penting.
Dukungan dari jaringan regional dan internasional membuat kami tahu bahwa kami tidak sendirian. Dari desa kecil di Sulawesi, suara kami kini bergema hingga ke panggung dunia.

Menghadiri forum ini adalah pengalaman yang sangat pribadi sekaligus politis bagi saya.
Saya datang ke Bangkok sebagai perwakilan masyarakat desa, tapi saya pulang dengan keyakinan bahwa perjuangan kami di Buol adalah bagian dari perjuangan global untuk keadilan sosial dan lingkungan.

“Keadilan sejati selalu lahir dari bawah.”

Sepulang dari forum, saya membawa semangat itu kembali ke komunitas: memperkuat pendidikan HAM di akar rumput, memperluas solidaritas antarwilayah, dan memastikan bahwa suara masyarakat desa tidak lagi terpinggirkan.

Dari Buol ke Bangkok, dari kebun ke forum dunia — perjalanan ini bukan tentang pencapaian pribadi, melainkan tentang membawa wajah dan suara rakyat kecil ke ruang-ruang yang biasanya hanya diisi oleh kekuasaan.

 

Bangkok – Buol, November 2025
Fatrisia Ain
Ketua Jaringan Jaga Deca / Juru Bicara Forum Petani Plasma Buol