Diskusi Dengan Petani Pulubala, Gorontalo: Kemitraan Plasma Sawit Yang Buram

Kisah Plasma Sawit di Gorontalo

Oleh: Tim JAGADECA

Pada akhir April 2025, perwakilan dari Jaringan Jaga Deca melakukan perjalanan ke Gorontalo. Di sana, mereka bertemu langsung dengan masyarakat Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo—warga yang hingga hari ini masih menggantungkan harapan pada janji plasma sawit yang tak kunjung ditepati. Sejak tahun 2013, ratusan petani menanti realisasi pembagian kebun plasma seluas 20 persen dari PT Tri Palma Nusantara. Tapi janji itu seperti bayangan: “ada tapi tidak ada.” Lebih dari satu dekade berlalu, yang tersisa hanya ketidakpastian dan kekecewaan yang tumbuh diam-diam di ladang-ladang mereka.

Puluhan warga hadir dalam pertemuan itu. Mereka bercerita bahwa kasus ini kini sedang dibahas di DPRD Provinsi Gorontalo dan sudah dibentuk tim Panitia Khusus (Pansus). Satu per satu, warga mengenang kembali bagaimana perusahaan datang ke kampung mereka—bagaimana tanah-tanah diserahkan, dan bagaimana harapan yang dulu sempat tumbuh perlahan berubah menjadi luka yang belum sembuh.

Setelah mereka berbagi cerita, giliran perwakilan Jaga Deca angkat bicara. Mereka menceritakan perjuangan petani di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, yang sejak 2022 juga menghadapi konflik serupa dengan PT Hardaya Inti Plantations (HIP). Seperti bercermin, dua kasus ini menampakkan wajah yang sama: perampasan hak atas tanah dengan dalih kemitraan atau plasma sawit.

Namun ada satu perbedaan penting. Di Buol, kemitraan yang dijalankan tak pernah benar-benar bisa disebut “plasma”, meskipun perusahaan menggunakan istilah “inti-plasma.” sebab dalam pelaksanaan murni yang digunakan pembangunan kebun adalahtanah masyarakat, sehingga ini adalah kemitraan atau murni bisnis. sedangkan kewajiban perusahaan untuk menyediakan 20 persen kebun bagi masyarakat sampai hari ini tidak pernah dijalankan.

Sementara di Pulubala, PT Tri Palma Nusantara justru menggunakan kewajiban pembangunan 20 persen kebun plasma sebagai dasar kemitraan. Tapi kisah dari warga mengungkap praktik yang tak kalah bermasalah. Mereka mengaku diajak bekerja sama dengan perjanjian kontrak: perusahaan akan membangun kebun sawit, masyarakat dijanjikan mendapat bagian plasma, dan semua tanaman yang ada dijanjikan akan diganti rugi.

Padahal tanah-tanah itu bukan lahan kosong. Sebelum sawit masuk, lahan mereka adalah ladang-ladang produktif: ditanami jagung, kunyit, jahe, hingga pohon kelapa. Tanah-tanah itu sebagian besar memang belum bersertifikat, tetapi banyak juga yang sudah memiliki legalitas. Letaknya dekat dengan rumah-rumah warga—bukan hutan, bukan semak belukar.

Masalah mulai muncul ketika warga diminta menandatangani setumpuk dokumen—tujuh lembar surat, tanpa penjelasan, tanpa salinan, dan tanpa waktu untuk membaca. Belakangan, baru terungkap bahwa dokumen itu adalah surat penyerahan hak atas tanah kepada perusahaan. Fakta ini muncul dalam persidangan, ketika salah satu warga dikriminalisasi dan PT Tri Palma Nusantara menghadirkan dokumen itu sebagai barang bukti.

Dari situ, kecurigaan pun menguat: masyarakat kemungkinan besar telah diperdaya. Mereka tidak sadar bahwa mereka menyerahkan tanahnya secara permanen.

Cerita pilu ini belum berhenti. Warga mengaku bahwa setelah menyerahkan tanah, mereka justru hidup dalam tekanan. Mereka sering diintimidasi, terutama ketika mencoba melakukan tumpangsari di lahan yang telah ditanami sawit. Banyak yang dilaporkan ke polisi. Kadang kasusnya diselesaikan di tengah jalan, tapi tetap harus membayar sejumlah uang. Bahkan ada warga yang harus “menyewa” lahannya sendiri kepada orang perusahaan jika ingin menanami lahan itu kembali. Ini sungguh tidak masuk akal, dan sangat kejam.

Kami dari Jaga Deca belum bisa menyimpulkan penuh. Kasus ini masih harus kami pelajari lebih dalam. Tapi dari pertemuan itu, kami menyepakati satu hal: akan ada langkah lanjutan. Kami berkomitmen untuk datang kembali, mempelajari persoalan ini bersama masyarakat, dan membangun solidaritas antarpetani dari dua wilayah.

Harapannya, dalam kunjungan berikutnya, kami bisa mengajak perwakilan dari Forum Petani Plasma Buol untuk datang langsung dan berbagi pengalaman perjuangan dengan warga Pulubala. Mungkin, di akhir pertemuan nanti, kita bisa nonton bareng film dokumenter “Bertahan di Tanah Harapan”—film tentang perjuangan petani Buol—sebagai bahan renungan bersama, bahwa tanah, sekali lepas, sulit untuk kembali. Tapi persatuan dan solidaritas, ketika tumbuh, bisa menjadi kekuatan yang mengubah segalanya.