Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) 5 Juni 2025

Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.

“Selamatkan Bumi, Selamatkan Rakyat: Bangun Gerakan Melawan Krisis Iklim dan Ketimpangan!”

 

Indonesia dalam Status Siaga: Ledakan Bencana Alam, Krisis Iklim, dan Ancaman Model Pembangunan Ekstraktif

Indonesia tengah menghadapi masa kritis. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik utama—Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik—Indonesia telah lama menjadi kawasan dengan risiko geologis tinggi. Gempa bumi, letusan gunung api, dan tsunami adalah ancaman alamiah yang melekat pada geografi Nusantara.

Namun kini, ancaman itu berlipat ganda. Krisis iklim global memperburuk intensitas dan frekuensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan, badai, dan gelombang panas ekstrem. Perubahan iklim bukan hanya persoalan suhu, tetapi soal nyawa, kehilangan tempat tinggal, dan hancurnya infrastruktur dasar kehidupan rakyat.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan betapa seriusnya situasi ini. Sejak awal tahun hingga 17 Maret 2025 saja, tercatat telah terjadi 641 bencana di berbagai wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, 441 kejadian adalah banjir, diikuti oleh 108 cuaca ekstrem, dan 59 peristiwa longsor.

Bencana hidrometeorologi ini bukan hanya angka statistik—ini adalah cerita tentang penderitaan yang nyata dan terus berlangsung. Setidaknya 110 jiwa meninggal, 17 orang hilang, 121 orang luka-luka, Lebih dari 2,2 juta warga terdampak, termasuk yang mengungsi dari rumah-rumah mereka yang terendam banjir. Ada hancur, 7.181 rumah rusak, 42 sekolah, 19 rumah ibadah, dan 7 fasilitas kesehatan ikut hancur atau terdampak parah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya berada di garis depan risiko geologis, tetapi juga di garis api dari krisis iklim global. Bila tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan pembangunan yang masih didorong oleh eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, kerentanan ini akan terus meningkat.

Bencana tidak lagi bisa dianggap sebagai sesuatu yang “alamiah” semata. Ia adalah akibat dari akumulasi kebijakan yang gagal menjaga keseimbangan ekologi, dan terus menyingkirkan rakyat dari ruang hidupnya. Dalam konteks ini, krisis iklim bukan hanya krisis lingkungan, melainkan krisis keadilan dan kemanusiaan.

Posisi Indonesia dalam peta risiko global semakin mengkhawatirkan. Dalam laporan World Risk Index (WRI) 2024, Indonesia tercatat sebagai negara kedua paling berisiko bencana di dunia, hanya berada di bawah Filipina. Dengan skor risiko sebesar 41,13, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan tingkat kerentanan dan eksposur yang sangat tinggi terhadap bencana alam dan krisis iklim.

Skor ini bukan sekadar angka. Ia menggambarkan perpaduan antara paparan geografis terhadap berbagai bencana—dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, hingga banjir dan kekeringan—dengan rendahnya kapasitas sosial-ekonomi untuk merespons dan beradaptasi. Artinya, selain sangat rentan secara fisik, Indonesia juga belum cukup siap dalam perlindungan warganya, pembangunan infrastruktur tangguh, maupun kebijakan mitigasi yang efektif.

Posisi ini menegaskan bahwa Indonesia bukan sekadar berada di garis depan bencana, tetapi sudah berada di titik rawan global. Dalam konteks krisis iklim, posisi ini juga mencerminkan kegagalan struktural dalam menyeimbangkan antara pembangunan dan perlindungan ekosistem serta kehidupan rakyat.

Ketika pembangunan nasional masih bertumpu pada ekspansi industri ekstraktif dan proyek-proyek besar yang memperparah kerusakan lingkungan, maka risiko ini tidak akan menurun. Justru akan meningkat, dan masyarakat paling miskin serta terpinggirkanlah yang akan menanggung dampaknya terlebih dahulu dan paling parah.

Krisis iklim yang kita hadapi saat ini bukanlah bencana yang lahir dari kesalahan kolektif seluruh umat manusia. Narasi yang menyamakan jejak karbon setiap individu atau setiap negara hanya menyamarkan ketimpangan struktural global yang menjadi akar persoalan.

Sejak dua abad terakhir, emisi karbon dioksida (CO₂) dari pembakaran bahan bakar fosil—batu bara, minyak, dan gas—telah menghangatkan bumi secara drastis. Namun jika kita menilik lebih dalam, pelaku utama bukanlah petani kecil, masyarakat adat, atau warga negara-negara berkembang, melainkan segelintir negara industri maju dan korporasi global yang menjadi motor utama sistem ekonomi berbasis ekstraksi dan eksploitasi.

Global Carbon Project menjelaskan dengan gambling, bahwa Amerika Serikat telah menyumbang sekitar 400 miliar ton CO₂ secara historis. Eropa telah menghasilkan sekitar 500 miliar ton CO₂ sejak revolusi industri pada abad ke-18 dan Tiongkok, saat ini penghasil  penghasil emisi tahunan terbesar (sekitar 11 miliar ton per tahun), namun kontribusi historisnya masih sekitar 200 miliar ton, dan itu terjadi dalam empat dekade terakhir—seiring lonjakan industrialisasi.

Secara keseluruhan, lebih dari 1,6 triliun ton CO₂ telah dilepaskan ke atmosfer sejak revolusi industri dimulai. Yang mengejutkan: hampir 80% dari jumlah itu berasal dari negara-negara maju dan perusahaan besar dunia.

Namun, dampaknya justru paling parah dirasakan oleh negara-negara di Selatan Global seperti Indonesia—yang tidak banyak berkontribusi pada kerusakan iklim secara historis, tetapi menjadi korban paling rentan dari krisis yang diciptakan oleh sistem ekonomi global yang timpang.

Di sinilah letak ketidakadilan iklim. Negara-negara maju terus mendorong pertumbuhan berbasis karbon, sementara negara-negara berkembang dipaksa menanggung beban adaptasi dan kerusakan—mulai dari banjir, kekeringan, gagal panen, hingga bencana besar yang memakan korban jiwa dan menghancurkan mata pencaharian jutaan orang.

Narasi ini penting untuk diluruskan: krisis iklim adalah akibat langsung dari keserakahan segelintir elit ekonomi global, bukan hasil dari pilihan hidup masyarakat biasa. Dan karena itu pula, tuntutan keadilan iklim bukan sekadar soal pengurangan emisi, tapi juga soal pertanggungjawaban sejarah, reparasi, dan redistribusi sumber daya untuk membangun masa depan yang adil dan berkelanjutan.

Indonesia terus melaju dalam jalur pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif dan ekspansi perkebunan skala besar. Namun, di balik narasi pertumbuhan ekonomi, justru tersembunyi kontribusi paling besar terhadap krisis iklim, deforestasi, dan kerusakan ekologis yang meluas. Model pembangunan ini bukan hanya mengorbankan lingkungan, tapi juga menghancurkan ruang hidup masyarakat adat, petani, dan ekosistem penting yang menopang kehidupan.

Hingga tahun 2024, Indonesia mencatat produksi batu bara sebesar 670 juta ton dan 900 ribu ton nikel, mayoritas untuk ekspor dan industri kendaraan listrik global (Kementerian ESDM, 2025). Ironisnya, bahan tambang yang disebut-sebut sebagai bagian dari transisi energi bersih justru ditambang dengan pengabaian terhadap perlindungan lingkungan dan hak masyarakat lokal.

Ekspansi tambang batu bara di Kalimantan dan nikel di Sulawesi telah memperparah deforestasi, mencemari sungai, dan menggusur komunitas masyarakat adat. Kawasan-kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi justru menjadi zona eksploitasi tertinggi, mempercepat hilangnya bentang alam tropis yang vital bagi penyerapan karbon.

Perkebunan kelapa sawit terus meluas, kini mencapai lebih dari 16 juta hektar di seluruh Indonesia (Ditjen Perkebunan, 2024). Ekspansi ini dilakukan dengan membabat hutan alam, sering kali tanpa konsultasi dengan masyarakat lokal, dan menimbulkan konflik agraria yang masif di berbagai wilayah.

Tak hanya sawit, muncul pula tren baru: perkebunan energi berbasis biofuel yang diklaim sebagai solusi energi terbarukan. Namun, kenyataannya tak jauh berbeda—monokultur tetap menjadi prinsip dasar, dengan konsekuensi degradasi tanah, krisis air, dan hilangnya biodiversitas.

Proyek Strategis Nasional (PSN) meluncurkan program food estate untuk meningkatkan ketahanan pangan. Tapi di lapangan, program ini justru mengubah lanskap pertanian rakyat menjadi ladang-ladang industri, merampas lahan petani kecil, dan merusak ekosistem lokal. Menurut Kementerian Pertanian (2024), food estate telah dibuka di Kalimantan Tengah, Papua, dan Sumatera Utara—wilayah yang sarat dengan sejarah agraria dan konflik sosial.

Alih-alih mengatasi kerawanan pangan, model ini memperkuat dominasi korporasi dan mengintegrasikan sektor pangan ke dalam logika industri ekstraktif, yang mengabaikan keragaman hayati, pangan lokal, dan kearifan ekologi komunitas.

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan bahwa industri ekstraktif dan perkebunan skala besar di Indonesia menyumbang hingga 75% dari total emisi gas rumah kaca nasional. Pelepasan karbon dari deforestasi, degradasi gambut, pembakaran biomassa, serta polusi dari tambang menjadikan sektor-sektor ini sebagai aktor utama dalam memperparah krisis iklim nasional.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum, tumpang tindih perizinan, dan absennya mekanisme akuntabilitas yang berpihak pada rakyat. Negara justru berperan sebagai fasilitator proyek, bukan pelindung ruang hidup rakyat.

Di tengah deret bencana dan kerusakan ekologis yang kian memuncak, suara komunitas akar rumput terus menuntut perubahan arah pembangunan. Krisis iklim dan bencana alam yang terjadi bukanlah kejadian alamiah semata, melainkan buah dari keputusan-keputusan politik dan ekonomi yang dikendalikan oleh kepentingan elite global dan nasional.

Krisis iklim dan bencana alam yang kita alami bukan semata akibat kekuatan alam, tapi adalah hasil pilihan politik dan ekonomi global yang menguntungkan korporasi ekstraktif dan negara maju. Indonesia harus segera keluar dari jebakan pembangunan ekstraktif dan memperkuat kedaulatan komunitas melalui solusi berbasis rakyat yang berkeadilan,” kata Ali, Manager Program Jaringan Jaga Deca

Di tingkat nasional, proyek-proyek ekstraktif seperti tambang, perkebunan skala besar, hingga program food estate terus menggusur lahan rakyat, merusak lingkungan, dan mempercepat kerentanan terhadap bencana. Model pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi jangka pendek ini justru memperbesar kesenjangan dan memperparah kerusakan.

Dalam situasi ini, perempuan, petani, dan komunitas lokal bukan hanya korban, tetapi juga aktor penting yang menjaga keberlanjutan alam dan pangan.

Kami perempuan, petani, dan komunitas lokal adalah garda terdepan dalam menjaga lingkungan hidup. Suara kami harus didengar dalam kebijakan iklim dan pembangunan agar tidak ada lagi yang kehilangan lahan dan penghidupan,” kata Fatrisia, Ketua Jaringan Jaga Deca

Sudah saatnya kebijakan iklim dan pembangunan tidak lagi disusun dari atas ke bawah, tetapi dimulai dari suara dan kebutuhan komunitas lokal. Tanpa perubahan arah, Indonesia bukan hanya akan kehilangan hutan dan tanah suburnya, tetapi juga masa depan generasi yang akan datang.

Sikap dan Tuntutan Jaringan Jaga Deca

  1. Tegaskan Status Darurat Iklim dan Ekologis Nasional
    Krisis ini membutuhkan langkah luar biasa dan terarah. Status darurat akan memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi serta alokasi sumber daya.
  2. Hentikan Ekspansi Industri Ekstraktif dan Perkebunan Besar
    Tambang batu bara, nikel, perkebunan sawit, dan proyek food estate harus dievaluasi dan dihentikan jika merusak lingkungan dan masyarakat. Ekspansi ini memperparah deforestasi dan memperbesar risiko bencana.
  3. Tolak Solusi Semu dan Greenwashing
    Perdagangan karbon, net-zero berbasis pasar, dan dekarbonisasi sukarela sering menjadi kedok korporasi untuk melanjutkan bisnis seperti biasa. Pemerintah harus menolak dan mencari solusi nyata berbasis keadilan sosial dan ekologis.
  4. Alihkan Subsidi dari Energi Fosil ke Energi Terbarukan dan Agroekologi Komunitas.
    Subsidi energi fosil yang besar memperparah krisis iklim. Dana harus diarahkan untuk mendukung energi terbarukan yang dikelola masyarakat dan pertanian berkelanjutan.
  5. Keadilan Iklim: Tuntut Pertanggungjawaban Negara Maju dan Korporasi Besar.
    Mereka harus memberikan kompensasi dan transfer teknologi bersih kepada negara berkembang yang paling terdampak, sebagai bagian dari keadilan global.
  6. Libatkan Komunitas Lokal dan Perempuan dalam Kebijakan.
    Pengambilan keputusan harus inklusif, menghormati hak-hak masyarakat adat, petani kecil, dan perempuan sebagai penjaga lingkungan.
  7. Perkuat Perlindungan Sosial dan Adaptasi Berbasis Komunitas
    Membangun sistem yang mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana dan memperkuat ketahanan lokal.

Krisis iklim bukan sekadar isu lingkungan. Ia adalah cermin ketimpangan global, kehancuran ekosistem, dan kekerasan sistemik terhadap rakyat kecil. Di balik setiap banjir dan kebakaran hutan, ada jejak keputusan politik yang mengabaikan keselamatan bersama demi keuntungan segelintir elite.

Di balik setiap petani yang kehilangan tanahnya, ada proyek raksasa yang mengatasnamakan pembangunan namun meninggalkan kehancuran. Inilah waktunya untuk menyatakan perlawanan.

Perjuangan melawan krisis iklim adalah perjuangan untuk hidup yang layak, keadilan sosial, dan masa depan yang tidak dibangun di atas penderitaan banyak orang. Ini bukan sekadar tentang menyelamatkan pohon atau menanam ulang hutan, tapi tentang merebut kembali kendali atas tanah, air, benih, dan udara—sumber kehidupan yang selama ini dirampas dan dikomodifikasi.

Kami menyerukan kepada seluruh rakyat:

  • Untuk tidak tinggal diam, karena diam adalah memberi ruang pada kehancuran.
  • Untuk mengorganisasi diri, membangun kekuatan kolektif dari desa hingga kota, dari petani hingga buruh, dari perempuan hingga pemuda.
  • Untuk mengubah arah sejarah, dari sistem yang memusnahkan menjadi sistem yang memulihkan—dari ekstraksi menuju regenerasi, dari dominasi menuju keadilan sosial.

Karena menyelamatkan bumi bukan tugas segelintir orang, melainkan gerakan bersama. Dan gerakan itu dimulai dari keberanian untuk berkata: Cukup sudah. Kami melawan.