Oleh : Program Manager dan Advokasi Jaringa Jaga Deca
Abstrak
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Makassar Nomor 30/Pdt.Sus-PHI/2025/PN.Mks antara PT Huadi Nickel Alloy Indonesia melawan dua puluh orang pekerja menimbulkan perdebatan yuridis mengenai kedudukan upah lembur, keabsahan perjanjian bersama, dan otoritas penetapan pengawas ketenagakerjaan. Majelis hakim mayoritas mengesahkan pembayaran “insentif kelebihan jam kerja 40%” sebagai pengganti upah lembur dan menyatakan penetapan pengawas tidak mengikat. Kajian ini menganalisis putusan tersebut melalui pendekatan yuridis normatif dan sosio-yuridis. Hasil analisis menunjukkan bahwa putusan tersebut menyimpang dari asas perlindungan pekerja, asas kejelasan gugatan (obscuur libel), serta asas in dubio pro operario. Dissenting opinion hakim ketua yang menilai gugatan pengusaha tidak dapat diterima justru memiliki dasar hukum yang lebih kuat. Artikel ini menegaskan perlunya reformulasi aturan peradilan hubungan industrial agar menjamin supremasi hak-hak normatif buruh di tengah tekanan efisiensi industri ekstraktif.
- Pendahuluan
Sektor pertambangan dan pengolahan nikel di Indonesia, termasuk di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, menjadi pusat pertumbuhan ekonomi sekaligus sumber utama konflik ketenagakerjaan. Kasus antara PT Huadi Nickel Alloy Indonesia dan para pekerja operator produksinya memperlihatkan ketegangan klasik antara efisiensi industri dan keadilan sosial bagi buruh.
Pada Februari 2025, perusahaan memutus hubungan kerja terhadap 20 pekerja dengan alasan efisiensi dan memberikan kompensasi melalui Perjanjian Bersama (PB) yang disahkan mediator Disnaker Bantaeng. Namun para pekerja menuntut kekurangan upah lembur berdasarkan perhitungan pengawas ketenagakerjaan. Sengketa ini berujung ke PHI Makassar dan menghasilkan putusan yang berpihak pada perusahaan.
- Permasalahan Hukum
- Apakah “insentif 40%” dapat dianggap sebagai pengganti upah lembur menurut ketentuan hukum ketenagakerjaan nasional?
- Bagaimanakah kekuatan hukum penetapan Pengawas Ketenagakerjaan dalam sengketa hak?
- Apakah Perjanjian Bersama dapat menghapus hak normatif pekerja yang belum dibayarkan?
- Apakah pertimbangan majelis hakim selaras dengan asas perlindungan pekerja dan prinsip in dubio pro operario?
- Metode Kajian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis terhadap sumber hukum primer (UU No. 13/2003, PP No. 35/2021, UU No. 6/2023, dan Perma PHI) serta pendekatan sosio-yuridis untuk menilai implikasi sosial dan politik hukum putusan. Data sekunder diperoleh dari dokumen putusan resmi PHI Makassar, risalah mediasi, serta literatur hukum ketenagakerjaan.
- Hasil dan Analisis
4.1. Kedudukan Insentif 40% dalam Hukum Upah Lembur
Pasal 31 PP No. 35 Tahun 2021 menegaskan kewajiban pembayaran upah lembur sebesar 1,5 kali upah sejam untuk jam pertama dan 2 kali untuk jam berikutnya.
“Insentif kelebihan jam kerja 40%” yang diterapkan PT Huadi tidak menghitung jam lembur aktual dan karenanya tidak memenuhi syarat hukum.
Majelis hakim yang mengesahkan sistem tersebut telah mengabaikan Pasal 88A ayat (4)–(5) UU No. 13/2003 jo. UU No. 6/2023, yang menyatakan bahwa kesepakatan pengupahan di bawah standar undang-undang batal demi hukum.
Dengan demikian, pertimbangan majelis mencerminkan formalisme hukum yang meniadakan substansi perlindungan terhadap hak pekerja.
4.2. Penetapan Pengawas dan Otoritas Administratif
Pengawas ketenagakerjaan memiliki fungsi law enforcement administratif berdasarkan Pasal 176 UU No. 13 Tahun 2003 dan Permenaker No. 33 Tahun 2016.
Penetapan pengawas dalam kasus ini — yang memerintahkan pembayaran kekurangan upah lembur — seharusnya menjadi dasar kuat dalam pembuktian di PHI.
Namun, majelis menyatakan penetapan tersebut “tidak mengikat” karena dianggap sepihak. Pandangan ini bertentangan dengan prinsip due process of administrative action, karena keberatan terhadap hasil pengawasan seharusnya ditempuh melalui mekanisme administratif, bukan diabaikan dalam proses yudisial.
4.3. Perjanjian Bersama (PB) dan Ruang Lingkupnya
PB yang ditandatangani pada 27 Februari 2025 hanya membahas PHK karena efisiensi, bukan hak lembur. Menurut doktrin hukum perburuhan, PB tidak dapat meniadakan hak normatif pekerja kecuali disebut secara tegas.
Namun, hakim memperluas interpretasi klausul “tidak akan ada tuntutan di kemudian hari” untuk mencakup seluruh hak, termasuk upah lembur.
Penafsiran ini melanggar asas ultra petita partium dan prinsip pacta sunt servanda yang mengikat hanya dalam ruang lingkup kesepakatan yang diatur secara eksplisit.
4.4. Dissenting Opinion dan Prinsip Perlindungan Pekerja
Hakim ketua Djulita Tandi Massora berpendapat gugatan pengusaha obscuur libel, sebab tidak menjelaskan nominal, periode, dan subjek dengan jelas. Pendapat ini berlandaskan Pasal 8 ayat (3) Perma No. 2 Tahun 2005, yang mensyaratkan kejelasan obyek sengketa dalam gugatan PHI.
Dissenting opinion ini konsisten dengan asas in dubio pro operario, yaitu setiap keraguan hukum harus ditafsirkan untuk melindungi pekerja.
Namun, suara mayoritas mendukung perusahaan, memperlihatkan kecenderungan judicial bias terhadap korporasi dalam perkara hubungan industrial.
4.5. Dimensi Sosio-Yuridis
Secara sosiologis, putusan ini memperlihatkan defisit keadilan substantif di wilayah industri ekstraktif. Dengan mengesahkan kebijakan insentif tetap sebagai pengganti lembur, PHI Makassar telah memperlemah posisi tawar buruh dan memperbesar legitimasi eksploitasi jam kerja panjang.
Putusan ini juga menggerus wibawa pengawasan ketenagakerjaan dan memperburuk ketimpangan struktural antara korporasi global dan tenaga kerja lokal.
Dari perspektif teori hukum progresif (Satjipto Rahardjo), ini adalah contoh “hukum yang berhenti pada teks, bukan pada keadilan sosialnya.”
- Kesimpulan

- Putusan PHI Makassar Nomor 30/Pdt.Sus-PHI/2025/PN.Mks tidak selaras dengan asas perlindungan pekerja dan asas keadilan substantif.
- “Insentif 40%” tidak memenuhi unsur upah lembur sebagaimana PP 35/2021 dan harus dinyatakan batal demi hukum.
- Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan seharusnya dianggap sah dan mengikat sebagai bukti administratif.
- Dissenting opinion hakim ketua lebih berdasar secara yuridis dan sesuai dengan prinsip in dubio pro operario.
- Putusan ini menunjukkan dominasi paradigma efisiensi atas keadilan sosial dalam hukum perburuhan Indonesia.
- Rekomendasi
- Revisi Perma PHI agar memperjelas ruang lingkup Perjanjian Bersama dan memastikan tidak dapat menghapus hak normatif pekerja.
- Penguatan lembaga pengawasan ketenagakerjaan melalui kewenangan final dan sanksi administratif sebelum PHI.
- Peningkatan kapasitas hakim PHI dalam menafsirkan asas perlindungan pekerja secara progresif.
- Advokasi hukum dan akademik perlu diarahkan untuk mendorong pembentukan preseden baru yang menempatkan perlindungan buruh sebagai inti keadilan hubungan industrial.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Pengadilan Hubungan Industrial.
- Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010).
- Zainal Asikin, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2021).
- Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat Nomor 168/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Jkt.Pst.






Leave a Reply