Panen Harapan di Tengah Krisis Iklim dan Pangan: Perempuan Petani Desa Winangun Bangun Agroekologi di Lahan yang Tersisa
Buol, Sulawesi Tengah — Di tengah krisis iklim yang kian mendalam dan ancaman darurat pangan yang semakin nyata, para perempuan petani di Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol, menunjukkan jalan sederhana namun penuh makna: menanam. Pada Kamis, 8 Mei 2025, mereka memanen padi dari demplot organik seluas 0,5 hektare—panen kecil yang membawa pesan besar tentang kemandirian, keberlanjutan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Demplot ini dikelola secara kolektif oleh Lingkar Belajar Perempuan Desa – Winangun, dengan dukungan dari Jaringan Jaga Deca. Inisiatif ini bukan hanya bertujuan memenuhi kebutuhan pangan komunitas, tetapi juga menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem pertanian industrial yang monopolistik, boros energi, merusak tanah, dan menyumbang emisi karbon dalam skala besar.
Krisis iklim bukan lagi ancaman di cakrawala—ia telah nyata menghantam bumi dan mengguncang sistem pangan dunia. Laporan FAO The state of food security and nutrition in the world 2023 mencatat lebih dari 735 juta orang di dunia mengalami kelaparan kronis, melonjak drastis akibat konflik, pandemi, dan perubahan iklim. Sementara itu, Sixth Assessment Report — IPCC menunjukkan suhu global telah naik sekitar 1,1°C sejak era pra-industri, disertai anomali cuaca yang memperparah kekeringan, gagal panen, dan krisis air di berbagai wilayah agraris.
Ironisnya, sistem pangan global juga menjadi penyebab dari krisis ini. Pertanian industri—dengan ketergantungannya pada deforestasi, pupuk sintetis, dan ekspansi monokultur—menyumbang sekitar 30% emisi gas rumah kaca global, menjadikannya salah satu sektor dengan jejak karbon tertinggi. Di negara-negara tropis seperti Indonesia, hal ini diperburuk oleh industri ekstraktif yang secara masif membuka hutan untuk komoditas ekspor seperti kelapa sawit dan nikel. Global Forest Watch mencatat, Indonesia telah kehilangan hampir 10 juta hektare hutan primer tropis sejak 2002, yang melepaskan lebih dari 4 gigaton CO₂ ke atmosfer.
Dampak krisis ini sangat terasa di Indonesia. BMKG melaporkan bahwa perubahan pola hujan menyebabkan kemunduran awal musim tanam lebih dari satu bulan di banyak wilayah selama lima tahun terakhir. Serangan hama meningkat tajam seiring iklim yang makin tidak menentu. Data Kementerian Pertanian menunjukkan, sejak 2022, kerusakan lahan akibat wereng, penggerek batang, dan tikus melonjak hingga 20% di wilayah Sulawesi.
Kondisi ini diperparah oleh krisis pangan nasional. Pada 2024, Indonesia mengimpor lebih dari 1 juta ton beras—angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Kenaikan harga pupuk kimia hingga 40% pada 2023 makin membebani petani kecil yang sudah kesulitan menjaga produktivitas lahannya.
Di tingkat lokal, gejala ini semakin mencolok. Di Kabupaten Buol, produksi padi hanya mampu mencukupi sekitar 40% kebutuhan konsumsi masyarakat. Sisanya—60%—harus didatangkan dari luar daerah seperti Gorontalo dan Toli-Toli. Padahal, wilayah ini dahulu dikenal sebagai salah satu lumbung pangan Sulawesi bagian utara.
Ironisnya, kelangkaan pangan lokal ini berlangsung seiring ekspansi besar-besaran perkebunan sawit. Sekitar 15% dari total daratan Buol telah dikonversi menjadi kebun sawit milik korporasi. Lahan-lahan subur yang seharusnya menjadi ruang tanam pangan justru dikuasai industri ekstraktif. Ruang hidup dan ruang tanam petani lokal makin menyempit. Di sinilah kita menyaksikan konvergensi antara krisis iklim dan krisis pangan: ketika tanah subur berubah menjadi hamparan sawit dan hutan dibabat demi komoditas, sementara masyarakat lokal kesulitan memenuhi kebutuhan beras sehari-hari.

Agroekologi: Pilihan Politik di Tengah Krisis
Agroekologi lebih dari sekadar teknik bertani—ia adalah pilihan politik untuk mempertahankan kedaulatan atas benih, tanah, dan pangan. Di tengah krisis iklim dan pangan, agroekologi menawarkan solusi yang adil: bagi alam, bagi perempuan, dan bagi masa depan bersama.
Panen perdana dari demplot Winangun adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari bawah. Kelompok perempuan desa ini memilih untuk menanam tanpa bahan kimia, mengolah tanah dengan tangan mereka sendiri, dan berbagi hasil dengan komunitas. Dalam situasi seperti ini, agroekologi bukan hanya pilihan yang masuk akal—ia adalah pilihan yang bermartabat.
Di Desa Winangun, perempuan-perempuan petani yang tergabung dalam Lingkar Belajar Perempuan, dengan dukungan Jaringan Jaga Deca, memulai gerakan kecil yang bermakna: bertani secara organik di atas lahan 0,5 hektare, meskipun dikelilingi kebun sawit dan pertanian berbasis kimia. Demplot ini melengkapi 38 hektare sawah organik yang lebih dahulu dikelola oleh petani eks-transmigran asal NTT di dusun yang sama.
Agroekologi tidak hanya tentang teknik—lebih dari itu, ia adalah keberanian membangun sistem pangan yang mandiri, rendah emisi, adil gender, dan tahan terhadap guncangan iklim. Di tengah ancaman global terhadap krisis pangan, praktik semacam ini adalah lentera harapan—tumbuh dari tanah, disiram dengan keringat petani, dan menyala sebagai cahaya dari bawah.

Tiga Agenda Mendesak
Agar inisiatif seperti yang dilakukan oleh para petani di Desa Winangun dapat berkembang lebih luas, ada tiga agenda yang harus segera didorong:
- Pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat.
Desa-desa seperti Winangun harus diberi kepastian atas ruang hidup mereka. Ini berarti menghentikan ekspansi sawit di wilayah yang menjadi sumber pangan rakyat. Negara tak bisa terus membiarkan petani bertani di lahan-lahan sempit yang tersisa, sementara ribuan hektare tanah dikuasai korporasi. - Dukungan sarana produksi yang ramah lingkungan dan berbasis komunitas.
Para perempuan petani di Winangun sudah mampu memproduksi pupuk organik sendiri, tapi mereka membutuhkan alat, tempat pengolahan, dan pelatihan lanjutan. Jika negara serius mendorong transisi pertanian ramah iklim, maka dukungan terhadap inisiatif semacam ini harus diprioritaskan dalam alokasi anggaran pertanian dan iklim. - Akses ke pasar adil untuk produk pangan sehat.
Petani organik sering kalah bersaing karena produknya tidak disubsidi seperti beras dari pertanian konvensional. Padahal, yang mereka hasilkan jauh lebih sehat, lebih berkelanjutan, dan tanpa beban pencemaran. Negara harus hadir memastikan ada insentif, pasar yang transparan, dan mekanisme distribusi pangan yang memihak petani kecil.

- Lokasi: Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah
- Luas demplot baru: 3 hektare
- Pengelola: Lingkar Belajar Perempuan Desa – Winangun
- Praktik sebelumnya: 38 hektare sawah organik di areal Blok A
- Inisiatif oleh: Lingkar Belajar Perempuan Desa (LBPD) Winangun dan Jaringan Jaga Deca
Catatan: Tulisan ini dapat dikutip dan disebarluaskan dengan mencantumkan sumber. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi kami.






Leave a Reply