Buol, 1 November 2025 — Masyarakat Lonu, Pokobo, bersama Jaringan Jaga Deca dan LBH Progresif menggelar Musyawarah Akbar untuk memperkuat persatuan dan menyatukan pandangan tentang pentingnya mempertahankan tanah serta menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Kegiatan ini juga menjadi arena memperluas solidaritas rakyat menghadapi ancaman ekspansi perusahaan perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP) yang akan merenggut ruang hidup masyarakat.
Dengan tema “Meneguhkan Perjuangan Hak atas Tanah, Warisan Leluhur adalah Harga Diri Kami,” acara ini mencerminkan kenyataan di lapangan: masyarakat tengah berjuang mempertahankan satu-satunya sumber kehidupan mereka, yaitu tanah dan air.
Dalam forum tersebut, kelompok-kelompok petani diberi ruang untuk menyampaikan pengalaman perjuangan mereka — dari kisah penindasan, kehilangan, hingga harapan membangun kekuatan bersama.
Forum Petani Plasma Buol (FPPB) turut hadir sebagai tamu undangan sekaligus menyatakan solidaritas terhadap masyarakat Lonu Raya. Dalam penyampaian penuh emosi, perwakilan FPPB menuturkan pengalaman mereka menghadapi tipu daya kemitraan sawit yang dilakukan oleh PT HIP: dari janji kesejahteraan yang berubah menjadi jeratan hutang, intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap petani yang menuntut haknya.
Warga dari Lonu, Pokobo, Poongan, Tayadun, serta desa-desa sekitar juga berbicara lantang menolak rencana perluasan konsesi PT HIP yang akan mengancam hutan dan sumber air di hulu Sungai Lonu dan Tapatalring. Mereka sadar, kehilangan tanah berarti kehilangan seluruh sistem kehidupan. Dari forum tersebut, masyarakat sepakat membentuk Persatuan Rakyat Lonu Raya sebagai wadah kolektif mempertahankan hak atas tanah dan kedaulatan hidup.
Kesimpulan mereka sederhana dan tegas: tanah leluhur tidak untuk dijual; hanya ada dua pilihan — melawan atau tenggelam.
Dalam sesi berikutnya, Jason Mandagi, Direktur LBH Progresif Cabang Buol, menyampaikan pendapat hukum (legal opinion) yang menegaskan bahwa perjuangan masyarakat mempertahankan tanah dan hutan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh negara. Ia menegaskan bahwa ekspansi perusahaan yang mengabaikan hak-hak rakyat dan merusak lingkungan merupakan bentuk pelanggaran hukum yang tidak boleh dibiarkan.
Puncak musyawarah adalah pemaparan hasil riset kolaboratif Jaringan Jaga Deca dan LBH Progresif yang disampaikan oleh Agrianto Rauf, mewakili Jaga Deca.
Agrianto menegaskan bahwa riset lapangan yang dilakukan di Desa Lonu sepanjang 2024–2025 mengungkap fakta serius mengenai ancaman ekspansi PT Hardaya Inti Plantations. Riset menemukan bahwa dua sungai besar, Sungai Lonu dan Tapatalring, adalah sumber utama kehidupan masyarakat: mengairi sawah, kebun kakao, dan ladang rakyat seluas lebih dari 250 hektare. Hutan di hulu dijaga dengan aturan adat ketat — tidak boleh menebang di sumber air atau mengubah aliran sungai — sebuah sistem ekologis yang terbentuk dari pengetahuan lokal yang panjang.
Namun, keseimbangan itu kini diancam oleh rencana perluasan konsesi PT HIP, bagian dari CCM Group milik Hartati Murdaya, yang telah menguasai 22.780 hektare HGU sejak 1990-an. Riset menunjukkan bahwa penguasaan lahan perusahaan tersebut berlangsung melalui praktik korupsi dan suap antara Hartati Murdaya dan Bupati Buol kala itu, Amran Batalipu, senilai Rp 3 miliar — kasus yang telah diputus pengadilan namun izin hasil praktik suapnya tak pernah dicabut.
Temuan lain menunjukkan bahwa perusahaan menjalankan skema kemitraan sawit yang menjerat ribuan petani plasma ke dalam utang. Sekitar 4.800 petani di atas 6.746 hektare lahan plasma tidak menerima kontrak tertulis dan tidak pernah mendapat pembagian hasil yang transparan. Sertifikat tanah mereka digunakan sebagai agunan kredit tanpa pengetahuan penuh. Ketika menuntut keadilan, mereka menghadapi intimidasi, pemutusan kerja, dan kriminalisasi. Pada 2023, KPPU menjatuhkan sanksi Rp1 miliar kepada HIP karena melanggar prinsip kemitraan adil — namun praktik eksploitasi tetap berlanjut.
Riset juga mengungkapkan bahwa banyak warga kini bekerja sebagai buruh di tanah mereka sendiri, dengan upah di bawah UMK (sekitar Rp98.000/hari), tanpa kontrak, tanpa jaminan sosial, dan kerap dipaksa bekerja dalam kondisi berbahaya. Buruh perempuan disuruh menyemprot pestisida tanpa alat pelindung, sementara buruh yang berupaya membentuk serikat independen diancam pemecatan.
Ini menandakan pola eksploitasi berlapis: rakyat kehilangan tanah, kemudian diperas tenaganya di atas tanah yang dirampas.
Selain itu, pembukaan lahan di wilayah hulu akan menghancurkan sistem hidrologi yang menopang hidup masyarakat. Jika hutan di sekitar Sungai Lonu dan Tapatalring dibuka, maka mata air akan lenyap, sawah mengering, gagal panen meluas, dan kemiskinan struktural tak terhindarkan.
Kerusakan serupa telah terjadi di wilayah konsesi HIP sebelumnya: banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau, dan rusaknya irigasi tradisional.
Lebih jauh, riset menemukan bahwa PT HIP selama dua dekade tidak pernah memenuhi kewajiban sosial-lingkungan sebagaimana diatur dalam regulasi nasional.
Perusahaan tidak menyediakan 20% kebun masyarakat, tidak melaksanakan penilaian nilai konservasi tinggi (HCV) maupun stok karbon tinggi (HCS), dan tidak mengelola limbah secara transparan. Prinsip “tidak ada deforestasi, tidak ada eksploitasi” berhenti di brosur, tanpa implementasi nyata.
Jaringan Jaga Deca dan LBH Progresif menegaskan sejumlah rekomendasi:
- Pemerintah harus menghentikan seluruh proses perluasan dan mengevaluasi ulang izin PT HIP.
- Lakukan audit terbuka atas kemitraan plasma dan kondisi buruh.
- Tegakkan moratorium permanen di hulu Lonu dan Tapatalring sebagai kawasan lindung rakyat.
- PT HIP wajib menghentikan ekspansi, memulihkan lahan rusak, dan memastikan hak-hak petani serta buruh terpenuhi.
- Lembaga keuangan dan pembeli sawit global diminta menghentikan transaksi dengan perusahaan yang melanggar hak asasi manusia dan lingkungan.
Agrianto menutup pemaparannya dengan seruan tegas:
“Bagi masyarakat Lonu, mempertahankan hulu berarti mempertahankan hidup. Mereka tidak menolak pembangunan, tetapi menolak kematian yang datang atas nama pembangunan. Selama sungai masih mengalir, perlawanan akan tetap hidup.”






Leave a Reply