Oleh Ali – Kepala Program dan Advokasi Jaringan Jaga Deca
Diskusi Tematik Jaringan Jaga Deca, 18 Oktober 2025
Negara Menertibkan Rakyat, Bukan Ketidakadilan
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) diumumkan sebagai langkah besar menuju “kepastian hukum dan pemulihan sumber daya nasional.” Tapi di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya — rakyatlah yang ditertibkan, sementara ketidakadilan dibiarkan tumbuh.
Melalui Satgas PKH yang dipimpin unsur militer, negara menjalankan tiga langkah besar: pengenaan denda untuk lahan tanpa izin, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset negara. Namun yang disasar bukan hanya korporasi besar yang merusak hutan, tapi juga lahan rakyat, koperasi, dan kebun plasma — tempat ribuan keluarga menggantungkan hidup.
Banyak kebun yang selama puluhan tahun dikelola warga tiba-tiba diklaim sebagai kawasan hutan. Tanpa verifikasi yang adil, masyarakat kehilangan tanah, dan ribuan buruh kehilangan pekerjaan.
Agrinas dan Wajah Baru Kapitalisme Negara
Melalui skema ini, negara—lewat lembaga seperti Agrinas—tidak sekadar menertibkan, tetapi mengambil alih produksi sawit rakyat. Atas nama “penyelamatan aset negara”, kebun-kebun rakyat diubah menjadi milik korporasi negara.
Inilah wajah baru kapitalisme negara: negara berperan sebagai pengusaha besar yang menguasai lahan, buruh, dan komoditas strategis.
Yang berpindah hanyalah pemilik formalnya — dari korporasi swasta ke tangan negara. Tetapi bagi buruh dan petani, hidup mereka tetap dalam cengkeraman sistem yang sama: kerja murah, represi, dan ketidakpastian.
Militerisasi Ekonomi: Menertibkan Demi Laba
Keterlibatan militer dalam Satgas PKH menegaskan bahwa penertiban ini bukan sekadar urusan hukum, melainkan proyek ekonomi-politik.
Pendekatan keamanan menggantikan dialog sosial. Aparat hadir bukan untuk melindungi masyarakat, tapi mengamankan kebijakan ekonomi negara.
Ini berbahaya — karena ekonomi kini dijalankan dengan logika senjata. Ruang demokrasi lokal menyempit, serikat buruh dilemahkan, dan advokasi dianggap ancaman.
Dampak di Lapangan: Buruh Kehilangan Hak, Petani Kehilangan Tanah
Dampak langsung PKH terasa di banyak wilayah perkebunan:
- Pemutusan kerja massal.
Buruh yang selama ini bekerja di kebun rakyat kehilangan pekerjaan tanpa pesangon, tanpa penghargaan atas masa kerja, meskipun ada di beberapa tempat masih mendapat pesangon tetapi tidak sesuai dengan ketentuan. - Pelemahan serikat buruh.
Dengan hadirnya aparat di lapangan, serikat dibungkam. Negosiasi diganti perintah sepihak. - Koperasi rakyat kehilangan tanah.
Lahan plasma dan kebun koperasi dinyatakan “ilegal” hanya karena masuk peta kawasan hutan. - Kemiskinan baru muncul.
Penghasilan menurun, ketegangan sosial meningkat, dan ketidakpastian menyelimuti ribuan keluarga.
PKH: Nasionalisme Semu, Oligarki Nyata
Pemerintah menggunakan narasi “kedaulatan sumber daya nasional” untuk membenarkan pengambilalihan lahan oleh negara. Tapi di balik bendera nasionalisme itu, tersembunyi agenda akumulasi baru oleh elit politik dan militer.
PKH adalah nasionalisasi keuntungan, bukan pemulihan keadilan.
Negara menguasai aset sawit, tapi tidak mengembalikan hak rakyat.
Keuntungan terpusat di segelintir tangan, sementara buruh dan petani terus dipinggirkan.
Jalan Rakyat: Koperasi, Transparansi, dan Kedaulatan
Melawan model baru perampasan negara berarti membangun arah politik alternatif. Tiga langkah mendesak yang perlu dikonsolidasikan:
- Bangun koperasi rakyat.
Lahan hasil PKH harus dikembalikan ke rakyat dalam bentuk koperasi buruh dan petani. Koperasi adalah bentuk kontrol sosial atas tanah dan produksi. - Konsolidasi gerakan buruh dan petani.
Hanya solidaritas lintas sektor yang bisa menahan arus kapitalisme negara yang semakin agresif. - Tuntut transparansi dan audit publik.
Data lahan, produksi, dan arus dana PKH harus dibuka. Tanpa itu, PKH hanya akan jadi instrumen korupsi dan konsolidasi oligarki.
Penutup: Tolak Kapitalisme Negara, Tegakkan Kedaulatan Rakyat
PKH memperlihatkan wajah baru kolonialisme internal — ketika negara sendiri bertindak sebagai tuan tanah, dan rakyat menjadi buruh di tanahnya sendiri.
Keadilan agraria tidak akan lahir dari tangan negara yang berperan sebagai korporasi. Ia hanya bisa tumbuh dari perjuangan rakyat yang menuntut hak atas tanah, kerja, dan kehidupan yang layak.
Tugas gerakan rakyat hari ini jelas: menolak PKH sebagai proyek kapitalisme negara, dan memperjuangkan kedaulatan rakyat atas tanah dan produksi.






Leave a Reply