Nestapa Buruh Hardaya

Oleh: Tim JAGADECA

Dari jantung Jakarta hingga pelosok Sulawesi Tengah, jejak PT Hardaya Inti Plantations (HIP) menghampar luas, membelah hutan dan lahan pertanian demi kelapa sawit. Perusahaan ini tak sekadar mengelola perkebunan. Ia adalah bagian dari jaringan bisnis raksasa yang berkelindan dengan nama-nama besar dan kekuasaan.

Berkantor pusat di Jalan Cikini Raya No. 78, Jakarta, HIP merupakan anak usaha dari konglomerasi Cipta Cakra Murdaya (CCM Group), milik pasangan Siti Hartati Murdaya dan Widyawimarta Poo alias Murdaya Poo. CCM, yang diklaim mempekerjakan lebih dari 55.000 orang, menaungi berbagai lini bisnis, dari properti hingga energi. Namun, di Sulawesi Tengah, jejak terkuatnya tampak dalam ratusan ribu hektare kebun sawit milik HIP.

Didirikan pada 3 April 1995 melalui akta Notaris No. 4, HIP mengklaim telah mengelola 13.372 hektare kebun sawit per Desember 2018. Perkebunan ini tersebar di empat kecamatan Kabupaten Buol: Bukal, Tiloan, Momunu, dan Lipunoto. Namun, perusahaan telah mulai menggarap lahan sejak 1993—dua tahun sebelum berdiri secara resmi. Artinya, pembukaan lahan dilakukan sebelum legalitasnya lengkap.

Berdasarkan dokumen resmi, HIP mengantongi izin lokasi perkebunan seluas 75.090 hektare: 51.000 hektare dari SK Kantor Pertanahan Kabupaten Buol-Toli Toli No. 400-179/1994, dan 24.090 hektare dari SK No. 400-517/1995. Namun dari izin itu, hanya 22.780 hektare yang kemudian berubah menjadi hak guna usaha (HGU) pada 1998, dalam dua sertifikat: HGU No. 01 (16.434 hektare) dan HGU No. 02 (6.346 hektare). Hingga dua dekade berlalu, sebagian besar izin tersebut belum dimanfaatkan secara formal.

Fakta di lapangan lebih kompleks. PT HIP diketahui melakukan penanaman di luar areal HGU yang dimilikinya. Tidak hanya itu, sebagian kebun dibangun di atas lahan pertanian milik masyarakat dan kawasan hutan yang tak berizin. Praktik ini menimbulkan ketegangan sosial, memicu konflik agraria, dan menyeret nama HIP ke dalam pusaran kritik organisasi masyarakat sipil dan lembaga lingkungan.

Meski bayang-bayang masa lalu belum sepenuhnya usai, ekspansi terus berjalan. Pada 2023, HIP kembali bergerak. Di berbagai kecamatan Buol, mereka menggelar sosialisasi pengurusan HGU baru atas 9.964 hektare lahan. Padahal, izin pelepasan kawasan hutan untuk area ini baru mereka kantongi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018—di tengah gencarnya Instruksi Presiden tentang Moratorium Sawit.

Dalam laman resminya, perusahaan menyebut seluruh pendanaan operasional berasal dari sumber internal. Namun, soal transparansi dan akuntabilitas atas konflik lahan dan perizinan yang tumpang tindih, publik belum banyak diberi ruang untuk bertanya—apalagi turut mengawasi.

Jalur Minyak Sawit PT Hardaya Inti Plantations: Dari Buol ke Pabrik Raksasa Dunia

Sejak Juni 2000, pabrik pengolahan sawit milik PT Hardaya Inti Plantations (HIP) beroperasi dengan kapasitas produksi sebesar 90 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Tingkat ekstraksi minyak sawit mentah (CPO) yang dicapai perusahaan ini rata-rata 25 persen—angka yang menunjukkan efisiensi pengolahan cukup tinggi dalam standar industri kelapa sawit.

Namun, yang menarik bukan hanya angka produksi, melainkan ke mana minyak itu mengalir. Rantai pasok PT HIP ternyata menembus pasar global, menembus lini produsen besar dunia, dan berlabuh di tangan para raksasa pangan dan barang konsumsi.

Dari data yang kami telusuri, pembeli tetap CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) PT HIP antara lain PT Multi Nabati Sulawesi (bagian dari Wilmar International Group), Musim Mas Group, Louis Dreyfus Company, Apical Group, PT Megasurya Mas, dan PT Salim Ivomas Perdana (anak perusahaan Indofood Sukses Makmur Tbk.). Daftar ini saja sudah memperlihatkan jaringan bisnis yang kuat dan tersentralisasi.

Lebih jauh, ditemukan fakta mengejutkan: perusahaan cokelat raksasa dunia, Hershey, tercatat mengimpor minyak sawit dari PT HIP selama periode 2020-2022. Dalam laporan yang diperoleh, periode Juli-Desember 2020 dan Januari-Juni 2022 menjadi sorotan. Hershey membeli melalui Cargill (2020-2021) dan AAK—produsen minyak asal Swedia—pada 2022. Meski demikian, laporan Cargill untuk 2020-2021 belum lengkap kami dapatkan. Sementara pada kuartal ketiga 2022, PT HIP tidak muncul dalam laporan Cargill, namun kembali tercantum pada kuartal keempat.

Konfirmasi serupa datang dari AAK yang dalam laporan September 2022 dan April 2023 mengakui bersumber dari perkebunan ini. Artinya, minyak sawit dari hutan dan lahan Buol turut masuk ke lini pasok produsen global yang selama ini menjadi sorotan isu keberlanjutan dan jejak lingkungan.

Selain Hershey, General Mills juga menempatkan PT HIP dalam daftar pemasoknya pada Januari 2022, meski tanpa merinci kontrak langsung atau tidak. Dugaan kami, fasilitas pengolahan seperti BLC di Rexdale dan Decantour yang memasok General Mills juga memproses minyak dari HIP, sebagaimana mereka diketahui memasok Nestle.

Sementara itu, perusahaan besar seperti Kellogg Company, PepsiCo, Procter & Gamble (P&G), dan Mondelez juga tercatat menerima pasokan minyak sawit dari PT HIP pada 2021. Namun, sejauh ini belum ada kejelasan apakah pembelian tersebut dilakukan secara langsung atau melalui perantara. Mondelez menyatakan bahwa Cargill dan AAK adalah perantara utama untuk minyak sawit dari HIP.

Sayangnya, tidak satu pun dari perusahaan-perusahaan tersebut yang telah mengeluarkan laporan terbaru mengenai status pemasok mereka untuk tahun 2023 saat laporan ini dirilis. Hal ini membuka pertanyaan tentang transparansi dan upaya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam memastikan rantai pasok mereka bebas dari masalah lingkungan dan sosial.

Kilas Konflik dan Dinamika Kemitraan Sawit

PT Hardaya Inti Plantations (HIP) membentang di enam divisi perkebunan utama dengan tambahan satu divisi khusus kebun kemitraan inti-plasma yang berdiri di atas lahan milik masyarakat lokal. Setiap divisi terbagi lagi ke dalam afdeling, dengan luas bervariasi antara 400 hingga 700 hektar. Penamaan afdeling menggunakan kode abjad A, B, C, dan seterusnya, sesuai jumlah subdivisi di tiap divisi. Namun, meski HGU yang dimiliki HIP mencapai 22.780 hektar, luas kebun yang benar-benar dibangun baru mencapai 13.372 hektar—sebuah kesenjangan yang membuka banyak pertanyaan.

Dari sisi kemitraan, program inti-plasma yang diusung HIP melibatkan tujuh koperasi tani dengan total 4.934 petani pemilik lahan, membentang di area 6.746 hektar. Program ini dibangun pada periode 2008-2011, namun malah menimbulkan konflik berkepanjangan yang terus bergulir hingga tahun 2024.

Konflik itu memuncak karena belasan tahun lamanya petani tidak merasakan hasil dari kebun yang telah berproduksi. Seluruh pendapatan perkebunan dikelola oleh HIP, mengacu pada skema kemitraan satu atap yang memusatkan kontrol penuh pada perusahaan. Ironisnya, pada 2020, HIP mencatat utang petani di koperasi sebesar Rp 590 miliar, namun tidak pernah transparan menjelaskan rincian penggunaan utang tersebut kepada para petani.

Upaya panjang para petani untuk menuntut hak atas hasil usaha mereka melalui jalur pemerintahan dan hukum berakhir tanpa keadilan yang jelas. Sehingga, sejak 8 Januari 2024, sebagian kebun kemitraan dihentikan operasionalnya oleh para petani yang menuntut agar HIP memenuhi kewajiban pembagian hasil kepada mereka. Penting dicatat, kebun kemitraan ini bukanlah bagian dari kewajiban pelaksanaan pembangunan kebun plasma 20% dari HGU perusahaan, melainkan tanah-tanah milik petani lokal yang diperjanjikan dalam kemitraan.

Di luar kebun inti dan kemitraan, pasokan tandan buah segar (TBS) PT HIP juga berasal dari kebun mandiri milik masyarakat. Namun, harga pembelian TBS oleh HIP selama ini cenderung di bawah standar yang ditetapkan pemerintah provinsi. Baru pada 2023, dengan beroperasinya PT Palma Lestari Jaya di Kabupaten Buol, mayoritas petani mandiri beralih menjual TBS mereka ke perusahaan baru ini karena harga beli yang lebih menguntungkan. Kondisi ini memaksa HIP menaikkan harga beli TBS demi mempertahankan pasokan.

Dinamika ini memperlihatkan betapa bisnis sawit di Buol bukan hanya soal produksi dan keuntungan, tapi juga tarikan kekuasaan, sengketa hak rakyat, dan persaingan bisnis yang ketat. Di balik rerimbunan kelapa sawit, narasi kemiskinan, ketidakadilan, dan perjuangan petani lokal terus bergulir, menunggu keadilan yang belum juga tiba.

Dari Keringat Hingga Ketidakadilan

Per September 2023, PT Hardaya Inti Plantations (HIP) di Kabupaten Buol mempekerjakan 2.703 tenaga kerja, terdiri dari 2.425 laki-laki dan 278 perempuan. Namun, di balik angka tersebut, terkuak fakta yang tak kalah mencengangkan: mayoritas buruh perusahaan ini belum pernah menerima salinan Perjanjian Kerja. Sebuah praktik yang sesungguhnya merenggut hak dasar pekerja dalam memahami hubungan kerja mereka sendiri.

Tenaga kerja di PT HIP terbagi dua: mereka yang bekerja di pabrik pengolahan tandan buah segar (TBS) dan sebagian besar yang bekerja di ladang perkebunan, baik di kebun inti perusahaan maupun kebun kemitraan. Perbedaan paling mencolok adalah sistem pengupahan: buruh pabrik pengolahan menerima upah berdasarkan jam kerja yang mengikuti ketentuan pemerintah, sementara buruh kebun dikupas upahnya berdasarkan satuan hasil—atau sering disebut upah harian.

Namun, ketimpangan tak berhenti di situ. Fasilitas bagi buruh pabrik pengolahan dan kebun pun jauh berbeda. Buruh perkebunan mendapatkan tempat tinggal yang serba terbatas, pasokan listrik seadanya, dan minimnya fasilitas lain yang menunjang kehidupan layak.

Buruh kebun terbagi dalam tiga kelompok kerja: perawatan, panen, dan pengangkutan. Di bagian perawatan, pekerjaan mereka bervariasi mulai dari merawat gawangan manual (imas), menyemprot herbisida dengan teknik berbeda, hingga pemupukan kimia dan perawatan teras. Buruh panen bertugas menurunkan buah dari pohon dan melakukan pemangkasan (pruning). Sementara buruh pengangkutan terbagi antara angkut buah manual (ABM) dan loading, yang mengangkut buah ke penampungan dan pabrik.

Setiap pagi, pukul 06.00, apel pagi menjadi ritual pembuka sebelum buruh menyebar ke lokasi kerja masing-masing menggunakan motor pribadi. Ironisnya, mereka yang bekerja di perawatan dan panen tak mendapat tunjangan transportasi. Mereka harus menanggung sendiri biaya beli motor dan bensin, sementara tunjangan BBM hanya dinikmati para officer, asisten kebun, kondaktor, dan mandor.

Yang lebih miris, alat kerja bukan diberikan gratis. Buruh harus membeli pisau egrek sekaligus pipa galah untuk panen seharga Rp 1,3 juta. Alat yang kerap rusak dalam 3–6 bulan itu membuat buruh terjerat angsuran berkelanjutan, meski belum lunas, mereka harus beli alat baru karena sudah mengaami  kerusakan. Potongan gaji untuk cicilan alat ini menipiskan pendapatan yang sudah pas-pasan. Kondisi serupa berlaku untuk buruh di bagian perawatan dan angkut buah.

Alat Pelindung Diri (APD) hanya diserahkan sekali saat pertama kali masuk kerja. Setelah itu, buruh harus membeli sendiri jika APD rusak, baik dari luar maupun perusahaan—yang pembayarannya juga dipotong dari gaji. Ironisnya, penggunaan APD nyaris tak diawasi, kecuali saat audit Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) datang. Barulah mereka diperintahkan lengkap menggunakan APD.

PT HIP memang menyediakan mess sebagai tempat tinggal buruh di setiap divisi kebun. Namun, kenyataannya, mess ini tak sepenuhnya “gratis”. Saat buruh diputus hubungan kerja (PHK) atau pensiun, perusahaan memotong uang pesangon dan pensiun mereka untuk biaya sewa mess, air, dan listrik. Pemotongan yang bisa mencapai Rp 6 juta ini tak tercatat resmi dalam slip pembayaran pesangon, sebuah praktik yang merugikan buruh. Mess berukuran 3×4 meter tanpa dapur dan kamar mandi ini membuat buruh yang ingin menambah fasilitas harus membangunnya sendiri dengan biaya sendiri.

Adapun buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pensiun di PT Hardaya Inti Plantations (HIP) bukan serta-merta menerima uang pesangon secara utuh. Mereka harus bersabar menunggu giliran, karena pembayaran dilakukan bertahap—enam termin. Akibatnya, tidak jarang uang pesangon baru diterima penuh setelah delapan bulan, bahkan satu tahun kemudian. Sebuah ujian kesabaran di tengah kebutuhan hidup yang terus berjalan.

Fasilitas kesehatan yang disediakan perusahaan pun minim. Hanya ada satu klinik, berlokasi di kantor sentral Divisi Satu—jauh dari Divisi Empat, Lima, dan Enam. Buruh yang sakit harus menempuh jarak jauh hanya demi izin sakit yang hanya bisa dikeluarkan klinik perusahaan. Sementara urusan BPJS Ketenagakerjaan dan Jamsostek tampak seperti formalitas belaka. Potongan iuran rutin tercantum di slip gaji, tapi sejumlah buruh belum menerima kartu kepesertaan. Kepesertaan yang seharusnya melindungi mereka jadi rentan, dikhawatirkan iuran tak dibayarkan perusahaan tepat waktu.

Bahkan ada kasus tragis, saat istri buruh hendak melahirkan di rumah sakit umum, pelayanan tertunda karena tunggakan iuran BPJS. Barulah setelah buruh berani menuntut, perusahaan melunasi iuran yang macet. Informasi soal kepesertaan asuransi juga minim, buruh harus cek sendiri ke BPJS atau aplikasi digital agar tahu status perlindungan mereka.

Setiap bulan, dari penghasilan buruh dipotong sekitar Rp 98 ribu untuk berbagai asuransi: Jamsostek, BPJS Kesehatan, dan pensiun. Namun buruh perempuan menghadapi beban lebih berat. Mereka mayoritas bekerja di perawatan kebun, menghirup bahan kimia berbahaya setiap hari dengan APD yang tak memadai. Ironisnya, hak cuti saat haid tak diberikan, dan pemeriksaan kesehatan menyeluruh hampir tak pernah dilakukan selama lima tahun terakhir.

Paling memilukan adalah pengabaian buruh yang mengalami kecelakaan kerja. Seorang buruh panen yang berkali-kali mendapat penghargaan sebagai karyawan terbaik, lumpuh parsial akibat kecelakaan. Alih-alih mendapat perawatan dan pesangon, ia justru dipaksa bekerja hingga akhirnya memilih mundur sendiri. Karena bukan PHK, ia kehilangan hak pesangon.

Sistem pengupahan buruh perkebunan juga penuh jebakan. Buruh panen digaji berdasarkan tonase dengan acuan Berat Janjang Rata-rata (BJR) yang ditetapkan perusahaan, bukan berat nyata tandan buah segar. Misalnya, dengan BJR 18 kg, mereka harus memanen sekitar 55-56 janjang untuk satu ton, digaji Rp 130 ribu. Jika BJR ditetapkan rendah, buruh harus kerja lebih keras dan lama untuk mencapai target. Anehnya, BJR di kebun kemitraan petani bisa lebih rendah, hanya 13 kg/janjang, meski tanaman sudah berumur 17 tahun.

Target serupa membebani buruh angkut buah, baik manual (ABM) maupun loading. Buruh loading dibayar Rp 22 ribu per ton, tapi harus memuat TBS sesuai target BJR—kadang harus bekerja hingga tengah malam karena keterbatasan alat angkut.

Upah harian buruh perawatan hanya Rp 98.136, dengan pendapatan bulanan rata-rata Rp 1,93 juta—di bawah Upah Minimum Kabupaten Buol Rp 2,58 juta pada 2020. Upah mereka nyaris stagnan selama lima tahun, baru naik Rp 1.000 pada 2024. Sementara itu, potongan upah meliputi asuransi, pajak, angsuran alat kerja, koperasi, denda, hingga potongan simpanan tak jelas guna. Beberapa buruh panen hanya menerima sekitar 25 persen dari pendapatan kotor mereka setelah potongan.

Koperasi di mess buruh menjual bahan pokok lebih mahal 35–50 persen dibanding harga pasar. Dengan sistem pembayaran tempo dan pemotongan gaji otomatis, buruh makin terjerat utang. Ditambah lagi dengan kredit kendaraan bermotor, banyak buruh terpaksa meminjam dari rentenir yang menahan kartu ATM mereka sebagai jaminan—sebuah jebakan finansial yang kian menjerat.

Di luar buruh resmi, ada “buruh tempel” —para petani mitra yang selama bertahun-tahun tak mendapat hasil dari kebunnya dan tak diterima jadi buruh tetap. Demi bertahan, mereka ikut bekerja membantu panen, pruning, dan pungut brondolan. Tanpa kontrak dan jaminan kerja, mereka bekerja dengan risiko tinggi dan tanpa perlindungan apa pun. Upah buruh tempel panen hanya sekitar Rp 1,7 juta per bulan, yang pungut brondolan bahkan hanya Rp 733 ribu.

Intimidasi dan Kebebasan Berserikat

Di PT Hardaya Inti Plantations (HIP), suara buruh bukan hanya tenggelam, tapi nyaris terbungkam. Nyaris mustahil menemukan pekerja yang berani membuka mulut—mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan, terperangkap dalam jebakan intimidasi dan ancaman PHK. Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Di balik megahnya kebun sawit dan riuh aktivitas pabrik, ada kendali ketat perusahaan yang mengekang kebebasan berserikat dan berunding.

PT HIP adalah panggung bagi tiga serikat buruh: Serikat Pekerja Hardaya (SPH-SPSI), Serikat Pekerja Perkebunan Sawit (SPPS), dan Serikat Pekerja Karyawan Hardaya (SPKH). SPH-SPSI, serikat tertua, sempat dipimpin oleh sosok yang kini menjadi Ketua DPRD Buol (tahun 2014). Namun bagi buruh, organisasi ini dianggap terlalu ‘melembek’—tak cukup membela suara mereka.

Pada 2015, lahir SPPS sebagai perlawanan. Dipimpin Abdulah Rahman, SPPS berani berbicara lantang soal hak buruh. Tapi keberanian itu dibayar mahal. Pengurusnya digempur, satu per satu di-PHK. Sebuah pukulan telak yang melahirkan trauma mendalam, membuat buruh memilih diam demi menjaga keselamatan.

SPKH kemudian muncul sebagai serikat baru, dibentuk oleh karyawan bagian Humas PT HIP dan seorang anggota DPRD Buol. Namun bagi banyak buruh, SPKH tak lebih dari wadah yang condong melayani perusahaan, bukan membela mereka.

Seorang mantan pengurus SPPS yang di-PHK tanpa pesangon mengisahkan perjuangan mereka: keberhasilan menuntut ekstra fooding, kenaikan upah hingga Rp 450 ribu pada 2012, serta perlindungan cuti haid dan melahirkan yang kini sesuai ketentuan. Namun ketika mereka menolak diam, PHK menjadi balasannya.

Pada puncak konflik 2015, protes berujung blokade pabrik. PT HIP tak main-main, memanggil Brimob Polda Sulteng untuk mengawal truk angkut TBS. Bentrokan pun pecah, dengan satu buruh terluka akibat tembakan. Tragedi itu meninggalkan luka yang tak mudah sembuh.

Kini, di antara tiga serikat itu, buruh hanya melihat bayangan kepentingan perusahaan. Organisasi-organisasi ini dianggap bukan lagi pelindung, tapi justru alat untuk membungkam. Akibatnya, buruh enggan mengeluhkan penderitaannya. Mereka memilih tutup mulut, takut menjadi sasaran baru intimidasi tanpa perlindungan. Dalam hening yang dipaksakan itu, suara buruh perlahan pudar—dan keadilan, seolah menjauh dari pelukan mereka.

Merumahkan Buruh Secara Sepihak

Sejak 27 Juni hingga 26 Juli 2024, PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP) merumahkan lebih dari 100 buruh di kebun kemitraan koperasi Plasa dan Amanah I tanpa pemberitahuan tertulis resmi. Para buruh hanya diberitahu secara lisan saat apel pagi untuk “stand by di rumah” tanpa batas waktu jelas, namun diwajibkan tetap melakukan absensi pagi dan sore.

Alasan perusahaan adalah penurunan hasil panen tandan buah segar (TBS), sehingga mereka mengaku tak mampu membayar upah. Kebijakan serupa sebelumnya juga menimbulkan masalah: pada Januari 2024, buruh diperintahkan absen tanpa bekerja tapi upahnya tidak dibayar.

Buruh kebun kemitraan Plasa yang mendatangi kantor pusat PT HIP pada 10 Juli 2024 mendapat jawaban mengejutkan: mereka bukan buruh PT HIP, melainkan buruh koperasi, sehingga tidak akan menerima upah dari perusahaan.

Situasi ini memicu ketegangan dan potensi konflik antara buruh dan petani mitra, apalagi sebelumnya di kebun kemitraan Koptan Awal Baru terjadi penganiayaan yang melibatkan petani dan buruh.

Kebijakan “stand by di rumah” diduga sengaja diterapkan agar buruh jenuh dan mengundurkan diri, sehingga perusahaan terbebas dari kewajiban membayar pesangon. Selain itu, kebijakan ini berpotensi digunakan untuk memobilisasi buruh menekan pemerintah daerah agar memaksa petani membuka kembali kebun yang dihentikan operasionalnya.

Sebanyak 27 perwakilan buruh yang dirumahkan PT Hardaya Inti Plantations (PT. HIP) mengajukan pengaduan resmi ke Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Buol pada 11 Juli 2024. Mereka didampingi oleh organisasi FPPB, AGRA, dan LBH Buol Pogogul Justice. Pengaduan serupa juga disampaikan oleh 11 buruh lainnya pada 18 Juli 2024.

Menanggapi laporan tersebut, Dinas Ketenagakerjaan Buol menyatakan telah menerima pengaduan dan akan memanggil manajemen PT. HIP untuk melakukan mediasi dengan buruh. Dinas mengimbau para buruh untuk tetap mengisi daftar hadir meskipun tidak mendapat pekerjaan agar tidak dianggap mengundurkan diri, sebuah praktik yang kerap digunakan perusahaan.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan Buol mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan PT. HIP dan meminta perusahaan segera menyediakan lokasi kerja baru serta kepastian pekerjaan bagi buruh. Dinas menegaskan tidak ingin masuk ke sengketa antara perusahaan dan petani plasma, namun berkomitmen melindungi hak-hak buruh sesuai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas juga menegaskan pentingnya buruh tetap melakukan absensi rutin untuk menghindari status PHK atau pengunduran diri secara sepihak. Jika upah tidak dibayarkan pada 27 Juli 2024, dinas akan mengambil langkah perlindungan hukum bagi tenaga kerja.

Selain itu, UPT Wasnaker Provinsi Sulawesi Tengah telah memastikan bahwa buruh yang dirumahkan memang memiliki status hubungan kerja langsung dengan PT. HIP, bukan dengan koperasi tani plasma seperti klaim beberapa pihak manajemen perusahaan.

Para buruh berharap PT. HIP memberikan kebijaksanaan dan kepastian hak mereka, mengingat sejak 27 Juni 2024 mereka telah rutin melakukan absen sebagai bentuk komitmen untuk bekerja, meskipun belum menerima perintah kerja harian.

Perkembangan Terkini Kasus Buruh yang Dirumahkan

Menanggapi desakan dan pengaduan buruh, sejak tanggal 26 Juli 2024 PT. Hardaya Inti Plantations (PT. HIP) telah mengeluarkan perintah kerja bagi buruh yang sebelumnya dirumahkan. Para buruh yang semula bekerja di areal kebun Amanah I dipindahkan ke Divisi II Kebun Inti, sedangkan buruh dari kebun Plasa dipindahkan ke Divisi IV Kebun Inti.

Meski telah kembali bekerja, terdapat catatan penting bahwa upah yang diberikan perusahaan masih jauh dari memadai. Buruh hanya menerima pembayaran sekitar Rp 200.000 untuk hari kerja sebelum masa perumahan, sementara hari-hari lain di mana mereka diwajibkan melakukan absen tanpa bekerja tidak mendapat upah. Perusahaan berdalih bahwa status buruh adalah Buruh Harian Tetap yang upahnya hanya dihitung berdasarkan hasil kerja.

Selanjutnya, per tanggal 31 Juli 2024, khusus untuk buruh yang berasal dari Amanah I, kembali diperintahkan untuk bekerja di kebun Amanah I. Hal ini terjadi akibat pembukaan paksa lokasi kebun tersebut oleh perusahaan setelah sebelumnya operasionalnya dihentikan sementara oleh masyarakat pemilik lahan di Desa Winangun sejak 8 Januari 2024. Situasi ini memunculkan dilema bagi para buruh karena pembukaan paksa ini dilakukan dengan pengawalan aparat Brimob dan TNI, sehingga berpotensi memicu konflik sosial.

Kesimpulan

PT Hardaya Inti Plantations (HIP) merupakan bagian dari konglomerasi besar yang memiliki pengaruh kuat di sektor kelapa sawit, terutama di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Meskipun memiliki izin lokasi dan hak guna usaha yang resmi, HIP terlibat dalam praktik pengelolaan lahan yang kontroversial, termasuk membuka lahan di luar izin dan di atas lahan masyarakat serta kawasan hutan, yang berujung pada konflik agraria berkepanjangan. Program kemitraan inti-plasma yang diterapkan juga tidak berjalan adil, menyebabkan petani menanggung beban utang besar dan tak menerima hasil secara transparan. Buruh perkebunan dan pabrik di HIP menghadapi kondisi kerja yang berat dan ketidakadilan, termasuk tidak mendapatkan perjanjian kerja yang jelas, alat kerja dan perlindungan yang minim, serta pemotongan tidak transparan atas pesangon dan tunjangan lainnya.

Sementara produk kelapa sawit HIP memasuki rantai pasok global hingga ke perusahaan multinasional besar, transparansi dan akuntabilitas perusahaan terhadap isu sosial dan lingkungan masih sangat kurang. Situasi ini mencerminkan persoalan struktural dalam industri sawit yang mengedepankan keuntungan perusahaan dengan mengorbankan hak masyarakat dan pekerja.

Rekomendasi

  1. Transparansi dan Akuntabilitas Perusahaan
    PT HIP dan anak usaha CCM Group harus meningkatkan keterbukaan informasi mengenai pengelolaan lahan, penggunaan dana kemitraan, dan kondisi kerja buruh, termasuk publikasi laporan lingkungan dan sosial secara rutin dan terbuka.
  2. Penyelesaian Konflik Agraria Secara Adil
    Pemerintah daerah dan pusat perlu mengawal proses penyelesaian sengketa lahan antara HIP dan masyarakat, serta memastikan mekanisme pembagian hasil kemitraan yang adil dan transparan.
  3. Perbaikan Kondisi Kerja Buruh
    HIP harus menyediakan perjanjian kerja yang jelas dan lengkap bagi semua buruh, memperbaiki fasilitas kerja dan tempat tinggal, serta memberikan alat pelindung diri dan alat kerja secara gratis dan sesuai standar keselamatan dan Kebebasan Berserikat.
  4. Pengawasan dan Penegakan Hukum
    Lembaga pengawas ketenagakerjaan dan lingkungan hidup harus memperketat pengawasan dan menindak pelanggaran yang dilakukan oleh HIP, terutama terkait izin lahan, keselamatan kerja, dan hak-hak buruh.
  5. Penguatan Koperasi dan Keterlibatan Petani
    Koperasi tani yang terlibat dalam kemitraan harus diberi dukungan kelembagaan dan akses pembiayaan yang transparan, agar petani mendapatkan kendali lebih besar atas usaha mereka dan bebas dari jerat utang.
  6. Penelusuran dan Pengawasan Rantai Pasok
    Perusahaan global yang menerima minyak sawit dari HIP perlu melakukan audit independen untuk memastikan produk yang mereka gunakan tidak berasal dari praktik tidak berkelanjutan dan melanggar hak masyarakat.