Penguatan Perempuan Tani Untuk Pangan Berkelanjutan: Optimalisasi Pertanian Padi Organik

Pagi itu, Minggu 17 November 2024, langit Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol, masih bersahabat. Sekitar pukul 10.00 WITA, satu per satu mama-mama—begitu perempuan asal Flores biasa disapa—melangkah masuk ke halaman rumah sederhana yang dijadikan tempat berkumpul. Di tangan mereka, tampak jeriken berisi air cucian beras, dibawa dengan hati-hati. Bukan untuk memasak, tapi untuk sesuatu yang jauh lebih besar: merawat harapan lewat pupuk organik.

Hari itu, mereka mengikuti workshop bertajuk “Penguatan Perempuan Tani dalam Pangan Berkelanjutan melalui Optimalisasi Pertanian Padi Organik.” Kegiatan ini diselenggarakan oleh Jaringan Jaga Deca, dan bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah ruang untuk berbagi pengetahuan, memperkuat kebersamaan, dan menyusun strategi bertahan dalam keterbatasan.

Sejak 2015, para petani eks transmigrasi asal Flores ini perlahan meninggalkan pertanian konvensional yang bergantung pada pupuk dan pestisida kimia. Mereka beralih ke pertanian organik—dengan segala keterbatasan lahan, hanya 0,5 hektar per keluarga. Sebab, lahan satu hektar yang seharusnya bisa mereka garap telah lama dimitrakan kepada PT Hardaya Inti Plantations untuk kebun sawit. Janji manis kesejahteraan yang mereka harapkan dari kemitraan itu tak kunjung datang, bahkan berubah menjadi luka panjang selama lebih dari 17 tahun.

Tak ada pembagian hasil, hanya utang yang menggunung entah dari mana asal perhitungannya. Mereka hanya bisa melihat truk-truk pengangkut TBS lewat di depan rumah—meninggalkan debu dan jalanan rusak. Sementara mereka, pemilik sah lahan, tak mendapat sebutir pun dari hasilnya.

Dalam kondisi inilah pertanian organik menjadi lebih dari sekadar metode bertani. Ia menjelma menjadi bentuk perlawanan, bentuk harapan, dan cara mempertahankan martabat.

proses pencabutan bibit padi dilahan demplot perluasan padi organik (Foto: Jaga Deca)

Di atas lahan seluas 38 hektar, sekitar 76 keluarga kini mengolah padi organik. Mereka melakukannya bukan semata demi bertahan hidup, tapi dengan visi yang jauh ke depan: memberikan makanan sehat untuk keluarga, menjaga tanah agar tetap subur, dan merdeka dari ketergantungan pada pupuk kimia serta subsidi pemerintah yang kian sulit diakses. Mereka sadar, tanah bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan untuk anak cucu.

Satu hal yang mencolok dalam praktik pertanian mereka adalah sistem tukar tenaga yang dalam tradisi orang Buol dikenal dengan ‘Mapalus’. Tanpa kontrak, tanpa aturan tertulis, mereka saling bantu dalam mencabut bibit, menanam, hingga panen. Siapa membantu siapa, dicatat dalam ingatan dan dibalas dengan tenaga. Kebersamaan ini berjalan atas dasar keikhlasan—nilai-nilai yang kini langka dalam kehidupan modern.

Itulah sebabnya workshop ini menjadi penting. Jaringan Jaga Deca menginisiasi pertemuan ini untuk merangkum pengalaman, menyebarkannya agar jadi inspirasi, serta memperkuat peran perempuan tani sebagai garda depan pertanian berkelanjutan.

Workshop berlangsung selama lima jam, dari pukul 10.30 hingga 16.00 WITA. Pesertanya 25 orang, mayoritas perempuan, termasuk perwakilan dari Dusun Dua (Blok B) yang masih menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Rencana awal workshop dibagi menjadi tiga sesi: diskusi praktik pertanian organik, identifikasi tantangan, dan demonstrasi pembuatan pupuk. Namun, karena peserta sudah lebih dulu menyiapkan bahan sejak pagi, acara dimulai langsung dengan praktik membuatpupuk cair organik.

Dipandu oleh dua praktisi lokal, Ibu Katarina dan Pak Rafael, peserta mulai memotong buah, memarut gula merah, dan menakar air cucian beras. Sesi berlangsung santai dan penuh semangat. Mereka belajar membuat tiga jenis Mikro Organik Lokal (MOL): MOL Dasar dari bonggol pisang dan rebung, MOL Buah dari aneka buah yang dihancurkan, dan Eco Enzim dari kulit buah dan daun-daunan.

Pembuatan MOL Buah membutuhkan fermentasi tujuh hari. Sementara Eco Enzim, yang dibuat dari kulit buah, daun kangkung, dan pandan wangi, harus difermentasi selama 90 hari. Tak semua bisa dipraktikkan hari itu karena keterbatasan bahan, namun semangat tak surut.

Dari diskusi yang muncul, sejumlah tantangan teridentifikasi. Kurangnya dukungan pemerintah, khususnya dalam penyediaan infrastruktur seperti irigasi, menjadi sorotan. Karena itu, Jaga Deca berkomitmen mengawal isu ini hingga ke Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Buol. Selain itu, mereka juga akan membentuk lahan percontohan bagi komunitas petani yang masih menggunakan metode kimia.

Lebih dari sekadar workshop, pertemuan ini menjadi perayaan atas keteguhan hati. Bahwa di tengah tekanan ekonomi, ketidakadilan, dan keterbatasan lahan, para perempuan tani di Desa Winangun tetap berdiri. Mereka tidak hanya menanam padi, tapi juga menanam harapan—harapan akan pangan yang sehat, tanah yang lestari, dan masa depan yang lebih adil bagi generasi mereka.