Konsolidasi Korban Perkebunan Sawit Sulawesi
Menguatkan Solidaritas, Membangun Tuntutan Bersama
Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol | 22–23 September 2025
Pertemuan di Lokasi Konflik
Di tengah hamparan kebun sawit yang membentang luas dan seragam di Desa Winangun, Kecamatan Bukal, puluhan petani dan pegiat dari enam kabupaten—Buol, Toli-Toli, Donggala, Morowali Utara, Pulubalang (Gorontalo), dan Kalimantan Tengah—berkumpul. Mereka datang membawa cerita yang tak jauh berbeda: tanah dirampas, kemitraan menjerat, dan kebijakan negara yang lebih berpihak pada korporasi daripada rakyat.
Selama dua hari, rumah-rumah warga di desa Winangun menjadi ruang hidup yang padat makna. Di sana, para peserta tidak hanya berdiskusi, tetapi juga makan bersama, tidur, dan saling berbagi pengalaman perjuangan. Setiap sudut rumah menjadi saksi bagi strategi, cerita gagal dan berhasil, serta solidaritas yang perlahan terjalin. Konsolidasi ini bukan sekadar forum formal; ia adalah ruang hidup yang mempertemukan pengalaman nyata dari berbagai wilayah, memperkuat tekad untuk bertindak bersama.
Winangun sendiri bukan lokasi yang netral. Desa ini masih berkonflik dengan PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) dan berada di sekitar kantor pusat perusahaan. Petani plasma di sini telah lama menuntut kejelasan hak atas tanah dan hasil kebun yang selama bertahun-tahun tak mereka nikmati secara adil. Keberadaan mereka dalam forum ini menjadi kesempatan belajar langsung di tengah perjuangan yang masih berjalan, menghadirkan kombinasi antara refleksi, strategi, dan solidaritas yang hidup.
Di Tengah Tekanan Aparat, Solidaritas Tak Surut
Hari pertama konsolidasi sempat diwarnai ketegangan. Aparat kepolisian datang ke lokasi dan meminta panitia menyerahkan identitas seluruh peserta melalui aparat desa. Permintaan ini menimbulkan tekanan, terutama bagi peserta yang datang dari luar daerah.
Panitia menolak dengan tegas, menegaskan bahwa kegiatan ini bersifat terbuka dan tidak ada kewajiban hukum untuk menyerahkan data pribadi peserta. Penolakan ini dilakukan secara tertib, namun penuh keyakinan, menunjukkan bahwa forum tetap berjalan sesuai rencana.
Meski dihadapkan pada intimidasi, kegiatan tidak terganggu. Diskusi tetap berlangsung, pertukaran pengalaman dan strategi berjalan, dan solidaritas antarpetani tetap terjaga. Momen ini menjadi bukti nyata: tekanan aparat tidak mampu memadamkan semangat perjuangan rakyat, dan keberanian kolektif tetap menjadi pondasi kuat gerakan.
Membedah Karakter Sistem Perkebunan Sawit di Indonesia
Hari pertama diskusi difokuskan pada karakter perkebunan sawit di Indonesia. Pembacaan kolektif mengungkap gambaran sistem yang bertolak belakang dengan klaim modernitas: sawit bukan pertanian modern, melainkan praktik agraria yang sangat terbelakang. Peningkatan produktivitas tidak dicapai melalui inovasi atau efisiensi, melainkan melalui perluasan lahan—praktik yang secara langsung terkait dengan perampasan tanah dan monopoli lahan.
Kepemilikan lahan terkonsentrasi di tangan oligarki, sementara hasil produksi diarahkan untuk pasar global, jauh dari pemenuhan kebutuhan lokal. Negara hadir bukan sebagai pelindung rakyat, tetapi sebagai fasilitator, melalui regulasi, aparat keamanan, dan pengawasan militer, memastikan arus ekspansi tetap lancar.
Dalam hubungan produksi ini, pihak yang paling terdampak adalah buruh perkebunan, petani plasma, masyarakat adat, dan perempuan. Diskusi menegaskan bahwa setiap ekspansi sawit selalu diiringi kekerasan struktural—dari perampasan tanah, kriminalisasi warga, hingga pembatasan ruang demokrasi. Sistem ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal dominasi sosial dan politik yang menempatkan rakyat sebagai korban utama.
Berbagi Masalah, Pengalaman, dan Keberhasilan Perjuangan Wilayah
Dalam sesi ini, peserta dari berbagai wilayah berbagi pengalaman, tantangan, dan capaian mereka dalam menghadapi ekspansi perkebunan sawit:
Buol – Menantang Ketidakadilan Kemitraan
Petani Buol menceritakan panjangnya perjuangan dalam skema inti-plasma bersama PT HIP. Bertahun-tahun tanpa pembagian hasil, kini sebagian petani mulai menerima pembagian hasil meski kecil. Tuntutan mereka tetap jelas: transparansi pengelolaan kebun dan pengembalian tanah untuk dikelola mandiri. Di tengah itu, warga memperkuat solidaritas melalui kelompok produksi kolektif, pengolahan pangan, padi organik dan kerja mopalus sebagai bagian bentuk perlawanan dari ekspansi perkebunan monokultur sawit.
Toli-Toli – Memetakan dan Memulihkan Tanah
Perwakilan dari Toli-Toli fokus pada pendataan dan pemetaan lahan masyarakat yang tumpang tindih dengan konsesi perusahaan. Usaha ini menjadi dasar advokasi hukum yang kuat. Di sisi lain, ekonomi mandiri berbasis sumber daya lokal terus dikembangkan melalui produksi pangan, usaha kecil, dan penguatan solidaritas antar desa.
Pulubalang (Gorontalo) – Merintis Organisasi dan Pendidikan Hukum
Di Pulubalang, masyarakat menekankan pembentukan organisasi tani desa dan pelatihan paralegal sebagai strategi menghadapi kriminalisasi. Solidaritas lintas wilayah juga diperkuat, karena jaringan perusahaan di Gorontalo beririsan dengan Sulawesi Tengah, sehingga perjuangan menjadi lintas daerah. Mengingat saat ini menghadapi perampasan tanah berkedok sewa dan dijanjikan plasama tetapi, kenyataannya masyarakat menandatangani pelepasan hak kepada perusahaan.
Morowali Utara – Merebut Kembali Tanah
Masyarakat Morowali Utara berhasil merebut kembali ±250 hektare tanah dari perusahaan sawit, yang kini dikelola bersama sebagai kebun pangan rakyat. Keberhasilan ini membuka peluang penguatan organisasi lokal dan peningkatan kapasitas kader agar perlawanan tetap berkelanjutan.
Donggala – Mengelola Tanah yang Direbut Kembali
Di Donggala, tanah yang dirampas perusahaan berhasil dikembalikan dan dikelola masyarakat secara mandiri. Lahan digunakan untuk kebun pangan dan tanaman lokal bernilai ekonomi, sekaligus menjadi momentum bagi mendorong kebijakan daerah yang melindungi petani kecil dan menghentikan praktik kriminalisasi.
Kalimantan Tengah – Menghadapi Tekanan dan Membangun Solidaritas
Kalimantan Tengah berbagi pengalaman menghadapi tekanan aparat dan perusahaan. Meski tantangan berat, mereka berhasil membangun jaringan solidaritas antarpulau. Hasil nyata perjuangan mereka: perusahaan diwajibkan membangun kebun masyarakat 20%, setara ±1.800 hektare, sebagai bukti keberhasilan advokasi kolektif.
Identifikasi Kebutuhan dan Rencana Aksi
Setelah sesi berbagi pengalaman, peserta melanjutkan diskusi kelompok wilayah untuk mengidentifikasi kebutuhan strategis guna memperkuat perjuangan masyarakat menghadapi perkebunan sawit. Beberapa kebutuhan utama yang muncul antara lain: penguatan organisasi dan kader lokal, peningkatan kapasitas advokasi dan hukum, serta pengembangan solidaritas lintas wilayah melalui kampanye publik bersama.
Berdasarkan kesepakatan forum, sejumlah langkah strategis dirancang: pembentukan Komite Koordinasi Petani Korban Sawit Sulawesi–Kalimantan, pelaksanaan kampanye bersama, agenda pertukaran pengalaman antarwilayah (exchange), dan pertemuan rutin setiap enam bulan. Langkah-langkah ini diharapkan memperkuat koordinasi, kapasitas advokasi, dan solidaritas kolektif, sekaligus menjadikan perjuangan lebih terstruktur dan berkelanjutan.
Kehidupan Bersama dan Keakraban
Selama dua hari kegiatan, peserta menemukan setidaknya tiga tempat keakraban yang memperkuat solidaritas dan semangat perjuangan. Pertama, di rumah warga tempat mereka menginap, dengan setiap rumah menampung 3–6 peserta. Di sini, interaksi sehari-hari terjadi secara alami—peserta berbagi pengalaman mereka sambil belajar langsung tentang kehidupan masyarakat setempat.
Kedua, di dapur umum, momen sarapan, makan siang, dan makan malam menjadi waktu bercengkrama antara peserta dan panitia yang menyiapkan makanan. Percakapan ringan hingga diskusi serius berlangsung di meja makan, menguatkan rasa kebersamaan.
Ketiga, di tempat ngopi sederhana, peserta berkumpul sambil menikmati kopi dan pisang goreng, berbagi cerita tentang perjuangan lapangan, tantangan, dan strategi kolektif—baik dengan sesama peserta maupun warga setempat. Ketiga ruang ini membentuk atmosfer akrab dan hangat, menegaskan bahwa perjuangan kolektif bukan hanya tentang aksi formal, tetapi juga tentang kebersamaan, saling percaya, dan belajar dari masyarakat yang terdampak.
Kesimpulan dan Capaian Pertemuan Konsolidasi Petani Korban Sawit Sulawesi
Selama dua hari, pertemuan konsolidasi yang dihadiri petani dari berbagai kabupaten di Sulawesi berhasil memperkuat solidaritas dan konsolidasi gerakan petani korban konflik sawit. Beberapa capaian utama yang diraih antara lain:
- Terbentuknya Komite Koordinasi Petani Korban Sawit Sulawesi sebagai wadah resmi untuk menyatukan perjuangan dan aspirasi petani di berbagai wilayah.
- Penguatan solidaritas lintas wilayah, termasuk dukungan moral dan pertukaran informasi mengenai pengalaman menghadapi konflik lahan dengan perusahaan perkebunan.
- Kesepakatan rencana aksi kolektif, meliputi kampanye advokasi, pertukaran pengalaman antarpetani, dan penjadwalan pertemuan rutin untuk menjaga kesinambungan perjuangan.
Peserta menegaskan kembali prinsip bahwa “Tanah bukan sekadar sumber hidup, tetapi hak yang harus diperjuangkan bersama.” Pernyataan ini menjadi landasan perjuangan kolektif dan arah strategis komite ke depan, untuk memastikan hak-hak petani di Sulawesi tetap terlindungi dan diperjuangkan secara berkelanjutan.
Solidaritas Lintas Wilayah
Di akhir kegiatan dua hari, suasana dipenuhi semangat kebersamaan dan kepedulian. Seluruh peserta berkumpul untuk merumuskan pesan dan pernyataan solidaritas, menyuarakan dukungan nyata bagi wilayah dan pejuang yang tengah menghadapi tekanan.
Dukungan ini diarahkan kepada Desa Lonu di Buol, yang tengah berjuang melawan upaya pengambilalihan lahan oleh PT HIP; kepada petani Donggala, yang mengalami kriminalisasi; serta kepada pejuang demokrasi, yang ditangkap antara 25 Agustus–1 September karena menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
Proses penyusunan pesan dibuat secara langsung bersama sama. Momen ini menegaskan bahwa perjuangan satu wilayah adalah perhatian seluruh komunitas lintas wilayah, dan bahwa dukungan kolektif bukan sekadar simbolis, tetapi bagian dari jaringan perjuangan yang nyata dan saling menguatkan.
Acara Lanjutan: Peringatan Hari Tani Nasional 2025
Acara lanjutan dari konsolidasi petani korban sawit adalah Peringatan Hari Tani Nasional, yang berlangsung pada 24 September 2025 di Lapangan depan Kantor Bupati Buol. Rangkaian kegiatan mencakup pendirian panggung untuk pentas seni dan tenda-tenda peserta untuk dialog, yang malam harinya dilanjutkan dengan pentas kebudayaan rakyat.
Dialog & Festival Agraria: Meneguhkan Reforma Agraria Sejati untuk Keadilan Sosial dan Pangan
Acara ini dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk Wakil Bupati Buol, Kepala Kantor BPN, Kejaksaan Negeri, LBH Progresif, KPH Pogogul, serta masyarakat terdampak konflik agraria di Kabupaten Buol.
Acara dimulai dengan upacara pembukaan, menyanyikan lagu kebangsaan dan daerah, serta pembacaan doa. Ketua panitia dan Wakil Bupati menyampaikan sambutan, menekankan pentingnya dialog sebagai sarana menampung aspirasi masyarakat, terutama terkait konflik lahan yang belum terselesaikan selama belasan tahun.
Dalam dialog, Wakil Bupati Buol menegaskan bahwa konflik agraria di Kabupaten Buol, termasuk yang melibatkan PT Hardaya Inti Plantations (HIP), merupakan warisan masalah masa lalu yang belum tuntas. Pemerintah daerah berkomitmen membentuk tim penyelesaian konflik agraria yang melibatkan berbagai pihak—pemerintah, lembaga hukum, KPH Pogogul, LSM, dan masyarakat terdampak—untuk menindaklanjuti persoalan tanah, koperasi, dan kemitraan plasma secara transparan.
Kepala BPN menjelaskan dasar hukum penyelesaian konflik melalui Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang percepatan reforma agraria. Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) akan memprioritaskan penyelesaian konflik PT HIP, menginventarisasi persoalan tanah, dan memberikan akses data kepada pemegang hak.
KPH Pogogul menegaskan komitmen menjaga kawasan hutan negara sekaligus memfasilitasi program hak kehutanan sosial untuk masyarakat. Kejaksaan Negeri Buol menyatakan siap memberikan opini hukum dan meninjau ulang perjanjian kemitraan inti plasma agar lebih adil bagi petani. LBH Progresif menyoroti ketimpangan dalam perjanjian kerja sama yang merugikan masyarakat, serta perlunya transparansi dan perlindungan hukum bagi petani.
Para peserta dialog, termasuk kepala desa dan perwakilan petani, menekankan perlunya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam penyelesaian konflik, transparansi pengelolaan koperasi, dan perlindungan terhadap lahan produktif untuk kebutuhan pangan lokal.
Komitmen Bersama yang Tercapai:
- Wakil Bupati Buol: Melibatkan masyarakat pemegang hak dan organisasi masyarakat sipil dalam tim, serta memastikan data dan informasi dari masyarakat terdampak dapat ditindaklanjuti.
- Kepala Kantor BPN: Memberikan akses data dan informasi pertanahan kepada masyarakat pemegang hak terdampak konflik agraria.
- Kejaksaan Negeri Buol: Memberikan bantuan hukum dan mengkaji ulang perjanjian kemitraan inti plasma antara 7 koperasi tani dan PT HIP.
Dialog ini menjadi langkah penting dalam meneguhkan reforma agraria yang adil dan berkelanjutan di Kabupaten Buol, sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat hukum. Komitmen semua pihak diharapkan diterapkan secara transparan dan bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial dan ketahanan pangan di wilayah ini.






Leave a Reply