Sawit dan Nikel di Sulawesi: Dua Wajah Ekspansi yang Merampas

Solidaris korban tragedi ledakan smelter di IMIP
Solidaritas SBIPE terhadap Korban tragedi ledakan di IMIP Desember 2024

7 Mei 2025 | Buol, Sulawesi Tengah
Oleh: Tim Jaga Deca

Sulawesi hari ini menjadi medan utama ekspansi industri ekstraktif di Indonesia. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Jaga Deca, jaringan masyarakat sipil lintas isu, terungkap dua sektor paling masif dan bermasalah di wilayah ini: perkebunan sawit dan tambang nikel.

Alih-alih membawa kesejahteraan, ekspansi dua sektor ini justru meninggalkan jejak panjang persoalan: perampasan tanah, pencemaran lingkungan, pelanggaran hak buruh, dan kriminalisasi warga. Di berbagai wilayah, masyarakat menghadapi tekanan dari model pembangunan yang menempatkan kepentingan korporasi di atas hak-hak rakyat.

Bantaeng: Tanah Rakyat Dikorbankan untuk Industri Nikel

Di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, pembangunan Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) oleh PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia dilakukan di atas tanah rakyat dari enam desa. Aktivitas industri menyebabkan krisis air bersih, kebisingan, dan pencemaran lingkungan. Petani kehilangan lahan, dan buruh menghadapi kondisi kerja yang eksploitatif.

Sejak awal 2025, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sedikitnya 79 buruh, tanpa kejelasan hak dan perlindungan. Sementara itu, upaya pengorganisasian buruh di bawah serikat SBIPE KIBA mendapat tekanan dan pelarangan.

Morowali: Zona Ekonomi, Zona Krisis

Di Morowali dan Morowali Utara, dua kawasan industri besar—IMIP dan GNI—menjadi simbol kolonialisme industri baru. Di balik kilau investasi dan angka ekspor nikel, terdapat realitas kelam: kecelakaan kerja yang berulang, pengabaian keselamatan buruh, dan kerusakan lingkungan. Sejak akhir 2023, sedikitnya 28 buruh meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.

Tak hanya buruh yang jadi korban, nelayan juga terdampak. Limbah tambang mencemari laut dan merusak ekosistem pesisir. Model pembangunan kawasan industri yang tertutup memperparah ketimpangan dan meminggirkan masyarakat lokal.

Buol: Janji Palsu dalam Balutan “Kemitraan” Sawit

Di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, petani dihadapkan pada persoalan lain: skema kemitraan sawit yang timpang. PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) menjanjikan kesejahteraan melalui program plasma, namun kenyataannya, petani justru kehilangan kontrol atas tanah dan hasil kebun mereka sendiri.

Koperasi-koperasi yang dibentuk—sebanyak tujuh unit—tidak lahir dari proses demokratis. Perusahaan mengatur seluruh mekanisme pengelolaan, mulai dari produksi, keuangan, hingga pemotongan hasil. Petani hanya menjadi “penerima utang”, tanpa tahu berapa utang mereka, berapa pendapatannya, dan kapan bisa lepas dari jeratan tersebut.

Ketika petani menyuarakan haknya, beberapa di antaranya justru dikriminalisasi.

Satu Pola, Beragam Bentuk

Kasus di Bantaeng, Morowali, dan Buol menunjukkan satu pola yang sama: penguasaan sumber daya oleh korporasi dengan cara-cara yang melanggar hak rakyat. Perkebunan sawit dan tambang nikel adalah wajah berbeda dari model ekonomi yang sama—ekstraktif, eksploitatif, dan eksklusif.

Diskusi yang difasilitasi oleh Jaringan Jaga Deca ini memperkuat kesadaran bahwa perubahan tidak bisa hanya dilakukan secara sektoral. Solidaritas lintas isu—antara gerakan petani, buruh, dan lingkungan—menjadi kunci untuk membangun perlawanan kolektif yang berkeadilan.