Workshop Penguatan Perempuan

Oleh: Tim JAGADECA

Buol, 26 Mei 2025 — Di tengah tantangan berat yang dihadapi perempuan dalam mempertahankan hak atas tanah, lingkungan, dan penghidupan, Jaringan Jaga Deca menggelar workshop bertajuk “Penguatan dan Perlindungan Bagi Perempuan Pembela HAM, Tanah dan Lingkungan di Buol.” Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari di King Five Resort, Negeri Lama, Kecamatan Bokat, Kabupaten Buol.

Workshop ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas perempuan, khususnya perempuan tani, dalam memperjuangkan hak-haknya serta mendorong partisipasi aktif mereka dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Hadir sebagai peserta adalah para perempuan pembela HAM dari berbagai desa di Buol, termasuk perwakilan organisasi petani, tokoh adat, serta aktivis lingkungan. Workshop juga menghadirkan pembicara dari lintas sektor: Wakil Bupati Buol, Nasir Dj. Daimaroto; anggota DPRD perempuan Kabupaten Buol; serta Dinas P2KB-P3A Buol. Sejumlah media lokal turut hadir meliput acara pembukaan.

Membaca Realitas Perempuan Buol di Tengah Ketimpangan Agraria dan Lingkungan

Dalam sambutan pembukaan, panitia menyampaikan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan kehidupan—baik dalam urusan pangan, pelestarian lingkungan, maupun menjaga nilai-nilai sosial dan budaya komunitas. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perempuan, terutama mereka yang berada di garis depan perjuangan hak asasi manusia dan lingkungan, justru menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Data dari Dinas P2KB-P3A Kabupaten Buol menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Hingga Oktober 2024, tercatat sebanyak 131 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, menjadikan Buol sebagai daerah dengan angka tertinggi di Sulawesi Tengah. Angka tersebut belum termasuk bentuk kekerasan yang terkait dengan konflik agraria, penggusuran, atau pengabaian hak-hak perempuan dalam proyek pembangunan berskala besar seperti perkebunan sawit dan infrastruktur.

Kriminalisasi yang dilakukan PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) tidak hanya menimpa para laki-laki, tetapi juga perempuan yang menjadi garda terdepan dalam perjuangan petani plasma di Buol. Setidaknya tujuh perempuan, termasuk Fatrisia (Koordinator Forum Petani Plasma Buol), Indah, Siti Nur Khotimah, Maidah P. Todael, Masniah Yunus, dan Sarah alias Teong, telah dipanggil sebagai saksi dalam proses hukum. Baru-baru ini, Rasiah Mansur, salah satu perempuan yang gigih memperjuangkan haknya, dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan pengrusakan. Mereka menghadapi berbagai tekanan, intimidasi, dan stigmatisasi yang berupaya melemahkan semangat perjuangan mereka.

Selain tekanan hukum, kekerasan fisik juga melanda petani plasma sepanjang Mei 2024. Beberapa perempuan menjadi korban penganiayaan, di antaranya Lilis M. Yunus, seorang ibu hamil, yang diserang di rumahnya pada 10 Mei 2024. Pada 7 Mei 2024, Masniah Yunus mengalami penganiayaan di kebun kemitraan Awal Baru, Desa Balau, bersamaan dengan laporan penganiayaan terhadap suami Siti Nurbaya A. Abdullah dan Aris Yunus. Selanjutnya, pada 11 Mei 2024, Inda dan Sofyan Rahman juga melaporkan penganiayaan di lokasi yang sama.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban kriminalisasi hukum, tetapi juga mengalami kekerasan fisik. Hal ini menegaskan betapa penting sekaligus rentannya peran perempuan dalam konflik agraria yang tengah berlangsung.

Perempuan yang dahulu menjadi penopang produksi pangan kini banyak yang kehilangan tanahnya akibat ekspansi perusahaan sawit termasuk kemitraan pembangunna kebun sawit. Mereka terpaksa menjadi buruh harian tanpa perlindungan kerja, berdagang kecil-kecilan, atau bermigrasi menjadi buruh migran ke luar daerah, bahkan luar negeri. Situasi ini menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan psikologis.

Seorang perempuan tani dari Desa Maniala menggambarkan kenyataan pahit ini dengan lugas:

“Kami bukan hanya kehilangan tanah, tapi kehilangan cara hidup. Dulu saya bisa tanam untuk makan. Sekarang kebun sawit semua, yang kami tidak dibekali cara mengolahnya. Kami disuruh menunggu sisa hasil ‘plasma’ yang tidak pernah ada, yang kadang cuma sekedar ucapannya pihak pengurus koperasi. Ada Katanya, Namun Tiada Nyatanya.”

Pernyataan lain datang dari peserta perempuan asal Desa Winangun:

“Kami sudah mengelola 38 hektar padi organik dengan penuh harapan menyediakan pangan sehat dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, di atas sisa tanah yang kami miliki hanya 0,5 hektar, perjuangan kami menjadi sangat berat tanpa adanya dukungan nyata dari pemerintah. Terutama dalam penyediaan sarana produksi dan akses pasar yang memadai. Tanpa dukungan itu, usaha kami untuk terus berkembang dan berkontribusi pada masa depan yang lebih baik akan terhambat.”

Wakil Bupati: “Perempuan Bukan Pelengkap, Tapi Pelaku Utama Perubahan”

Dalam pidato pembukaannya, Wakil Bupati Buol, Nasir Dj. Daimaroto, menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukanlah hal baru dalam sejarah bangsa ini. Ia menyebutkan tokoh-tokoh seperti Kartini dan Marsina sebagai simbol keberanian perempuan Indonesia dalam melawan ketidakadilan.

“Tokoh-tokoh seperti Marsina adalah simbol perlawanan modern yang membuktikan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap, tetapi juga pelaku utama dalam memperjuangkan keadilan,” ujar Nasir.

Ia menekankan pentingnya penguatan dan perlindungan bagi perempuan yang memilih terlibat dalam kerja-kerja advokasi dan perjuangan hak dasar. Menurutnya, peran perempuan harus diakui secara setara, bukan sekadar sebagai pelengkap domestik. Hal ini sangat relevan dalam konteks Buol yang tengah menghadapi tantangan besar, termasuk tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan konflik agraria yang belum terselesaikan.

Wakil Bupati juga mengusulkan pembentukan komisi penyelesaian konflik agraria di tingkat kabupaten, sebagai upaya serius melindungi masyarakat—termasuk perempuan—yang menjadi korban ketimpangan dan perampasan tanah.

“Isu HAM, tanah, dan lingkungan adalah perjuangan bersama, tanpa memandang suku, agama, atau asal-usul. Semua warga Buol memiliki hak dan martabat yang sama,” tegasnya.

Workshop sebagai Ruang Belajar dan Penguatan Jaringan

Selama tiga hari, para peserta aktif berdiskusi, memetakan masalah, dan belajar tentang hak perempuan, hukum agraria, serta strategi advokasi komunitas. Melalui metode peta perjalanan hidup, mereka membangun solidaritas dan memperkuat kapasitas advokasi untuk menuntut tata kelola sumber daya alam yang adil dan berpihak pada rakyat.

Acara pembukaan diwarnai tarian khas Nusatenggata Timur dan lagu daerah Buol, serta penyerahan beras organik hasil pertanian agroekologi dampingan Jaga Deca kepada Wakil Bupati dan narasumber.

Workshop ini menjadi titik awal perjuangan perempuan di Buol yang ingin mewujudkan transformasi struktural dalam pengelolaan tanah dan lingkungan demi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.