Ketika janji kemakmuran berubah menjadi lingkaran utang dan penguasaan lahan di Buol, Sulawesi Tengah
Oleh: Tim Jaga Deca
Di atas kertas, kemitraan sawit digambarkan sebagai jalan menuju kesejahteraan. Pemerintah mempromosikannya sebagai solusi pembangunan yang membawa untung bagi semua: perusahaan bisa berkembang, petani pun sejahtera. Tapi kenyataannya jauh panggang dari api.
Di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih melindungi petani, negara tampak abai. Pengawasan terhadap praktik kemitraan nyaris tak terasa. Pemerintah membiarkan perusahaan besar menjadikan skema ini sebagai jalan pintas untuk menguasai tanah rakyat—atas nama efisiensi, produktivitas, dan kemajuan ekonomi.
Skema inti-plasma telah lama diusung negara. Mulai dari PIR-Bun, PIR Trans, KKPA, hingga Revitalisasi Perkebunan. Semuanya menjanjikan keterlibatan petani sebagai mitra. Namun di lapangan, kemitraan ini sering kali hanya nama. Perusahaan mengelola segalanya: dari lahan, bibit, pupuk, panen, hingga keuangan. Petani hanya menonton. Mereka tak pernah diajak bicara tentang biaya, tak tahu hasil panennya berapa, apalagi soal utang yang tiba-tiba tercetak di atas kertas.
Dan ketika laporan keuangan akhirnya muncul, isinya membuat kepala pening: utang petani membengkak, kadang sampai angka yang tak masuk akal—mustahil dilunasi bahkan dalam dua generasi.
Kisah ini nyata terjadi di Buol. Antara 2008 hingga 2011, PT Hardaya Inti Plantations (HIP)—anak usaha dari konglomerasi raksasa Cipta Cakra Murdaya (CCM)—menjalin kemitraan dengan tujuh koperasi tani. Total ada 4.934 petani yang menyerahkan lahan seluas 6.746 hektare. Rinciannya sebagai berikut:
No | Nama Koperasi Tani | Tahun Kerja Sama | Jumlah Anggota | Luas Lahan (Ha) |
---|---|---|---|---|
1 | Amanah | 2008 | 1.260 | 1.260 |
2 | Plasa | 2010 | 200 | 400 |
3 | Bersama | 2011 | 725 | 1.059 |
4 | Awal Baru | 2011 | 750 | 1.000 |
5 | Bukit Pionoto | 2011 | 925 | 1.212 |
6 | Idaman | 2011 | 874 | 1.406 |
7 | Fi-Sabilillah | 2011 | 200 | 400 |
Total | 2008–2011 | 4.934 | 6.746 |
Tanah-tanah itu bukan tanah kosong. Sebagian besar adalah lahan transmigrasi yang sudah bersertifikat sejak 1994–1995, sebagian lain lahan ulayat yang dikelola masyarakat lokal sejak 1960-an. Tapi semua kini dikuasai penuh oleh perusahaan. Petani—pemilik sah tanah itu—tak lagi punya kendali. Mereka tak diberi akses pada informasi teknis, apalagi keuangan.
Masalah besar meledak pada 2020. PT HIP secara sepihak merilis data bahwa utang koperasi-koperasi tani itu mencapai Rp590,1 miliar. Bahkan sebelumnya, angka itu sempat disebut lebih dari Rp1 triliun! Tidak ada penjelasan rinci, tidak ada transparansi. Hanya ada pengumuman, lalu pemangkasan utang secara sepihak, seolah sedang memberi diskon.
Yang lebih membingungkan: koperasi yang utangnya ke bank sudah lunas pun masih dituduh berutang besar.
Contohnya Koperasi Plasa. Mereka sudah lunas membayar kredit investasi sebesar Rp11 miliar sejak 2015, bahkan telah membayar total Rp14 miliar bersama bunganya. Pada 2016–2018, mereka menerima bagi hasil. Tapi tiba-tiba, pada 2019, PT HIP menghentikan pembagian hasil dan malah mengirim tagihan utang baru: Rp113,6 miliar. Tanpa dasar yang jelas. Tanpa pembukuan yang bisa diverifikasi.
Cerita serupa dialami Koperasi Amanah. Mereka mengajukan kredit investasi Rp25,1 miliar, ditambah bunga masa pembangunan sebesar Rp11,9 miliar. Antara 2013–2018, mereka telah membayar Rp49,9 miliar. Tapi apa yang terjadi? PT HIP menagih utang baru: Rp142 miliar. Angka yang muncul entah dari mana.
Kemitraan ini bukan hanya soal angka yang janggal. Ini adalah sistem jebakan. Di dalamnya, koperasi yang seharusnya melindungi anggotanya justru gagal berfungsi. Banyak pengurus membuat keputusan sepihak, menutup-nutupi laporan keuangan, bahkan tak pernah menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT). Lembaga pengawas seperti Dinas Koperasi pun seolah menutup mata.
Belakangan, muncul dugaan bahwa PT HIP sedang mencoba mengalihkan pengelolaan kebun ke perusahaan baru bernama PT Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI). Perusahaan ini baru berdiri tahun 2023 dan diduga belum memiliki izin usaha perkebunan. Orang-orang di belakangnya? Masih dari lingkaran yang sama dengan PT HIP.
Inilah wajah kemitraan yang sebenarnya: rapi di luar, penuh jebakan di dalam. Petani tidak hanya dirampas tanahnya, tetapi juga haknya untuk tahu, mengatur, dan menentukan masa depannya. Mereka dijerat utang, dibungkam dengan angka, dan dijauhkan dari kendali atas kebun yang seharusnya milik mereka.
Ini bukan kemitraan. Ini kolonialisme dalam wajah baru—berbungkus janji kemakmuran, tapi mengantarkan petani pada kemiskinan yang diwariskan.
Leave a Reply