Perlawanan dari Akar Rumput

Jalan Panjang Perlawanan: Dari Forum Petani ke Putusan KPPU

Oleh: Tim JAGADECA

Di tengah ketidakpedulian negara dan matinya peran koperasi sebagai alat perjuangan petani, lahirlah Forum Petani Plasma Buol (FPPB)—sebuah organisasi akar rumput yang dibentuk oleh dan untuk petani pemilik lahan peserta program kemitraan pembangunan kebun sawit inti plasma bersama PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah. Koperasi, yang seharusnya menjadi tempat bagi petani untuk bersatu dan memperjuangkan hak-hak mereka, justru berubah menjadi alat bagi perusahaan. Suara petani sering kali diabaikan, transparansi keuangan menjadi mimpi yang tak terwujud, dan rapat anggota tahunan, yang seharusnya menjadi ruang bagi partisipasi petani, tidak pernah ada. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, para petani merasa terpinggirkan, tanpa ruang untuk berbicara, apalagi berjuang.

FPPB hadir sebagai jawaban atas kekosongan tersebut. Forum ini menjadi ruang berhimpun bagi para petani plasma dari berbagai koperasi, tempat mereka bisa berbicara dan berbagi kegelisahan. FPPB menjadi wadah untuk membangun kekuatan kolektif, di mana para petani tidak hanya saling menguatkan, tetapi juga saling belajar dan bertukar pengalaman. Di sinilah, mereka mulai menyusun strategi perjuangan bersama—untuk melawan ketidakadilan yang mereka hadapi.

Dalam forum ini, rapat dan diskusi rutin bukan hanya membahas masalah seputar kebun dan utang, tetapi juga soal hak-hak dasar mereka sebagai anggota koperasi dan warga negara. Pendidikan politik, pelatihan hukum dasar, serta konsolidasi lintas desa menjadi bagian penting dari upaya mereka untuk memperkuat solidaritas. Semua ini dilakukan secara mandiri, jauh dari campur tangan pihak luar. Semangat yang tumbuh dalam FPPB bukan sekadar untuk bertahan, tapi untuk melawan dan merebut kembali martabat yang telah lama dirampas oleh sistem kemitraan yang timpang dan tidak adil.

FPPB mungkin bukan organisasi formal dengan badan hukum, tetapi justru karena itulah ia bisa tumbuh murni dari akar rumput. Organisasi ini lahir dari kebutuhan nyata petani akan ruang perjuangan yang sejati—bukan yang dikendalikan oleh pihak luar, tetapi dibangun dari bawah oleh mereka sendiri. Forum ini kini telah menjelma menjadi payung perlawanan bagi rakyat, tempat lahirnya kesadaran kolektif bahwa perubahan hanya bisa tercapai jika rakyat itu sendiri yang bergerak. FPPB dibentuk oleh para petani yang terlibat dalam kemitraan sawit dengan PT. Hardaya Inti Plantations (HIP), yang merasa bahwa hanya dengan bersatu mereka bisa melawan ketidakadilan dan merebut kembali kontrol atas kehidupan mereka.

Mengetuk Pintu Pemerintah

Tanggal 29 September 2022, sebuah momen penting tercatat dalam sejarah perlawanan petani plasma di Buol. Untuk pertama kalinya, para petani yang tergabung dalam Forum Petani Plasma Buol (FPPB) duduk di ruang Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama anggota DPRD Kabupaten Buol. Di ruang itulah, suara-suara yang selama ini ditekan akhirnya bergema lantang: tentang ketidakadilan dalam kemitraan, manipulasi dalam laporan keuangan, dan pengingkaran hak-hak petani atas tanah dan hasil panennya sendiri.

Dari gedung DPRD, FPPB bergerak ke kantor Dinas Koperasi. Tak lama setelah itu, mereka bertemu langsung dengan Bupati Buol. Di semua pertemuan itu, mereka menyampaikan satu pesan yang sama: sistem kemitraan ini telah gagal. Bukan hanya gagal menyejahterakan petani, tapi juga menjadikan mereka korban dari janji-janji yang tak pernah ditepati.

Respons awalnya cukup menggembirakan. DPRD Kabupaten Buol mengeluarkan rekomendasi untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pencari Fakta. Harapan tumbuh. Tanggal 22 November 2022, Pansus resmi dibentuk. Bagi para petani, ini adalah sinyal bahwa suara mereka mulai didengar. Bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, negara akan berpihak pada mereka.

Namun harapan itu tak bertahan lama. Enam bulan berlalu, dan Pansus tak menghasilkan apa pun. Tak ada laporan, tak ada kesimpulan, apalagi rekomendasi tindak lanjut. Yang muncul justru kabar yang lebih menyakitkan: isu dugaan suap sebesar Rp20 miliar yang menyeret nama anggota Pansus dan pimpinan DPRD. Isu itu menyebar dari warung kopi hingga grup-grup WhatsApp petani. Meski belum terbukti secara hukum, kabar itu cukup untuk menghancurkan kepercayaan yang tersisa.

Seolah mempermainkan harapan petani, DPRD kemudian membentuk Pansus Jilid II pada 26 Juni 2023. Tapi hingga hari ini, tak pernah ada kabar tentang hasil kerjanya. Tak ada laporan, tak ada penjelasan, hanya keheningan. Sementara itu, PT. Hardaya Inti Plantations (HIP)—pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban—menolak hadir dalam setiap undangan rapat. Dalam surat resminya, mereka menyatakan dengan dingin: “Tidak ada masalah dalam kemitraan.”

Pernyataan itu bagai menampar wajah petani yang telah puluhan tahun menanggung utang, hidup dalam ketidakpastian, dan kehilangan kendali atas tanah mereka sendiri. Negara yang seharusnya hadir, justru tampak lumpuh di hadapan kuasa modal. Dan FPPB pun kembali menyusun langkah—karena mereka tahu, keadilan tidak akan datang dari mereka yang nyaman duduk di kursi kekuasaan.

Sementara itu, dalam salah satu pertemuan dengan Dinas Koperasi, FPPB mengajukan tuntutan yang sederhana tapi sangat penting: akses terhadap dokumen-dokumen kemitraan. Sebuah permintaan dasar yang seharusnya menjadi hak semua petani plasma sebagai peserta kemitraan sekaligus pemilik lahan. Tapi realitas selama ini sangat pahit—dokumen-dokumen itu dikunci rapat. Pengurus koperasi memilih diam, perusahaan menutup pintu. Tak ada transparansi, tak ada penjelasan. Selama 16 hingga 20 tahun, para petani plasma tidak pernah melihat selembar pun kertas tentang yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban mereka dalam kemitraan.

Lewat perjuangan yang gigih dan konsisten, FPPB akhirnya berhasil membuka kunci itu. Dokumen-dokumen tujuh koperasi yang bermitra dengan PT. HIP akhirnya berhasil diakses. Kemenangan ini memang terlihat kecil di permukaan, tapi maknanya sangat besar—karena untuk pertama kalinya, para petani bisa melihat langsung apa yang selama ini disembunyikan dari mereka.

Saat mereka mulai membaca dokumen-dokumen itu, lembar demi lembar mengungkap kenyataan yang mengejutkan. Ada banyak kejanggalan, ketimpangan, dan pelanggaran tersembunyi di balik bahasa hukum yang rumit. Dari sinilah FPPB mulai menyusun pemahaman yang lebih tajam tentang bagaimana kemitraan ini sebenarnya bekerja—bukan seperti yang dijanjikan dulu, tapi penuh manipulasi dan pengabaian hak petani. Akses terhadap dokumen ini menjadi titik balik penting dalam perjuangan mereka: dari yang semula hanya curiga, kini mereka bisa membuktikan. Dari yang awalnya hanya menuntut, kini mereka bisa menggugat.

Sementara itu, atas desakan yang terus-menerus dilakukan oleh petani melalui Forum Petani Plasma Buol (FPPB), Pj. Bupati Buol, M. Muchlis MM, sempat mencoba ambil peran. Pada Oktober 2023, ia mengumumkan pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Koperasi dan Petani Plasma. Tim ini tampaknya disusun cukup lengkap—melibatkan perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), pengurus koperasi, petani, hingga lembaga-lembaga pendamping masyarakat sipil.

Di atas kertas, langkah ini terlihat menjanjikan. Tapi di lapangan, harapan itu cepat layu. Tim yang semestinya menjadi motor penyelesaian masalah, justru berjalan terseok-seok sejak awal. Dalam satu tahun sejak dibentuk, tim ini hanya menggelar dua kali pertemuan. Selebihnya, senyap. Tak ada langkah konkret, tak ada laporan hasil kerja, bahkan tak ada arah yang jelas. Petani menyebutnya: hidup segan, mati tak jelas.

Bagi FPPB, tim ini akhirnya lebih mirip alat penenang daripada penyelesai masalah. Alih-alih menyelesaikan persoalan, kehadirannya justru dinilai sebagai upaya meredam gelombang perlawanan petani yang terus menguat. Sebuah manuver politik yang terlihat aktif di permukaan, tapi kosong di dalam. Petani semakin paham, bahwa dalam banyak kasus seperti ini, negara sering hadir bukan untuk menyelesaikan konflik, tetapi untuk meredam suara rakyat agar tak terlalu keras terdengar.

Menggugat ke Negara

Sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait pelanggaran kemitraan antara Koperasi Amanah dan PT. Hardaya Inti Plantations.
Sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait pelanggaran kemitraan antara Koperasi Amanah dan PT. Hardaya Inti Plantations.

Di tengah jalan panjang yang penuh kebuntuan, petani tak tinggal diam. Pada Agustus 2022, sejumlah petani yang tergabung dalam Koperasi Amanah mengambil langkah besar: melaporkan PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Mereka tidak didukung oleh pengurus koperasi mereka sendiri, bahkan sempat dianggap melawan arus. Namun, mereka tidak gentar. Bagi mereka, ketidakadilan harus dilawan, meskipun harus dimulai sendirian.

Laporan ini berangkat dari keyakinan yang sederhana, tetapi sangat kuat: ada yang sangat salah dalam pola kemitraan yang dijalankan oleh PT. HIP. Dan keyakinan ini terbukti benar. Pada 9 Juli 2024, Majelis Komisi KPPU menjatuhkan putusan tegas: PT. HIP terbukti melanggar Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dalam Putusan Nomor 02/KPPU-K/2023, perusahaan dinyatakan bersalah karena menjalankan kemitraan yang timpang dan merugikan petani.

Tak hanya itu, PT. HIP juga dijatuhi denda administratif sebesar Rp1 miliar dan diperintahkan untuk memperbaiki pola kemitraannya dengan petani. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menolak keberatan perusahaan dan menyatakan putusan KPPU telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Bagi para petani, ini adalah titik terang yang sangat berarti, sebuah kemenangan hukum yang membuktikan bahwa perjuangan mereka bukanlah hal yang sia-sia.

Namun, meskipun putusan itu telah dikeluarkan, kenyataannya kemenangan itu belum sepenuhnya diwujudkan. PT. HIP tidak menunjukkan itikad baik untuk menjalankan isi putusan. Bahkan, satu bulan setelah putusan dibacakan, yang dilakukan oleh perusahaan justru berbalik 180 derajat. Mereka memobilisasi pasukan Brimob ke kebun-kebun plasma di lima desa. Aparat bersenjata lengkap ini dipanggil untuk memaksa berlangsungnya panen di kebun yang sengaja dihentikan oleh petani sebagai bentuk protes.

Bagi petani, tindakan ini bukan hanya pelanggaran atas putusan hukum yang sudah dikeluarkan, tetapi juga pembangkangan terang-terangan terhadap keadilan. Negara telah memutuskan, tetapi perusahaan memilih untuk membangkang. Yang lebih menyakitkan lagi, negara hadir bukan sebagai pelindung hak-hak petani, tetapi malah mendukung intimidasi, dengan menghadirkan senjata dan ancaman yang menambah beban perjuangan mereka.

Aksi di Lahan Sendiri

Pengerahan aparat bersenjata (BRIMOB) secara berlebihan untuk menghadapi aksi pengentian operasionala kebun oleh petani pemilik lahan di desa Winangun pada Februari 2023.

Namun, perjuangan petani tidak hanya berlangsung di ruang rapat atau meja pengadilan, tetapi juga hadir di lahan mereka sendiri, di kebun-kebun sawit. Pada 8 Januari 2024, para petani dari empat koperasi—Amanah, Plasa, Bukit Pionoto, dan Awal Baru—melakukan penghentian sementara operasional kebun di lima desa: Winangun, Taluan, Balau, Maniala, dan Suraya. Aksi ini bukanlah bentuk putus asa, melainkan sebuah pernyataan tegas atas kontrol petani terhadap tanah mereka. Mereka ingin menunjukkan bahwa lahan itu bukan milik perusahaan, dan bahwa mereka memiliki kuasa untuk menghentikan ketidakadilan yang berlangsung lama.

Aksi penghentian operasional kebun ini muncul sebagai respons terhadap ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan solusi yang konkret atas permasalahan yang telah berlangsung puluhan tahun. Kerugian besar akibat kemitraan yang timpang, serta ketidakjelasan tentang hak-hak mereka sebagai petani, telah membuat mereka kehabisan harapan di ruang-ruang yang melibatkan pemerintah. Dengan penghentian operasional kebun, para petani meminta agar perusahaan membuka ruang dialog langsung dengan mereka, bukan lagi dengan pengurus koperasi yang dinilai lebih berpihak pada kepentingan perusahaan.

Namun, seperti yang sudah-sudah, harapan untuk adanya ruang dialog dengan perusahaan tidak terwujud. Sebaliknya, perusahaan malah memobilisasi aparat Brimob untuk menghentikan aksi damai yang dilakukan oleh petani. Intimidasi dan teror pun menjadi bagian dari kenyataan yang harus dihadapi petani dalam perjuangan mereka. Selain itu, perusahaan juga berusaha mengalihkan fokus konflik dengan membenamkan isu buruh, seakan-akan menanggapi protes petani sebagai permasalahan di luar konteks hak-hak mereka atas tanah. Upaya ini jelas hanya untuk mengalihkan perhatian dari inti permasalahan: ketidakadilan dalam kemitraan yang merugikan petani.

Aksi ini menjadi simbol perlawanan yang menunjukkan bahwa meskipun pemerintah dan perusahaan gagal memberikan solusi, petani tetap teguh pada hak-hak mereka atas lahan yang telah mereka olah. Mereka menuntut keadilan, dan meskipun teror dan intimidasi datang dari berbagai arah, semangat perlawanan mereka tetap tak tergoyahkan.

Mendesak Rapat, Menantang Diamnya Negara

Dari berbagai arah tekanan dan kebuntuan, semangat perlawanan petani tetap tak tergoyahkan. Mereka tahu, jalan menuju keadilan tidak hanya dihadang oleh perusahaan dan institusi negara, tapi juga oleh koperasi—lembaga yang semestinya menjadi alat perjuangan petani, tapi justru berubah menjadi penghambat.

Koperasi yang dibentuk dalam skema kemitraan tak lagi menjalankan fungsinya mewakili kepentingan anggota. Hampir semua koperasi yang terlibat dalam program plasma ini tidak pernah menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT) dalam tiga tahun terakhir. Masa jabatan para pengurusnya bahkan telah habis. Namun mereka tetap menjalankan kekuasaan seolah-olah tak ada aturan yang berlaku.

Lebih dari itu, pengelolaan koperasi dilakukan secara semena-mena. Tidak ada transparansi. Tidak ada laporan keuangan. Dan berkali-kali, keputusan sepihak yang merugikan petani diambil tanpa musyawarah. Salah satunya adalah penandatanganan perjanjian utang yang nilainya tidak masuk akal—puluhan miliar rupiah atas nama petani—tanpa ada penjelasan ataupun bukti penggunaan dana. Petani hanya tahu bahwa tiba-tiba mereka memiliki utang besar yang tak pernah mereka lihat wujudnya.

Karena itulah, FPPB dan para petani terus mendesak agar koperasi segera melakukan RAT. Desakan tidak hanya dilayangkan kepada pengurus koperasi, tetapi juga ditujukan kepada Dinas Koperasi dan Pemerintah Daerah. Tekanan demi tekanan terus disuarakan. Akhirnya, Dinas Koperasi Kabupaten Buol mengeluarkan surat desakan agar seluruh koperasi segera menggelar RAT. Bukan sekali—tapi tiga kali. Lalu, Sekretariat Daerah ikut bersuara, disusul oleh Penjabat Bupati. Terbaru, pada tahun 2025, Wakil Bupati Buol yang baru pun ikut mengeluarkan surat serupa.

Namun semua desakan itu tidak digubris. Para pengurus koperasi mengabaikan seluruh surat resmi dari pemerintah. Bahkan, menurut kesaksian salah satu anggota koperasi, ketika ia bertanya langsung kepada pengurus soal surat-surat tersebut, jawabannya justru menohok: “Ah, itu biasa.”

Pernyataan itu mencerminkan betapa dalamnya krisis di tubuh koperasi. Bukan hanya krisis administratif, tapi juga krisis moral. Koperasi yang seharusnya menjadi milik petani, kini berubah menjadi alat segelintir orang yang mempertahankan kekuasaan untuk melanggengkan ketidakadilan.