Buol: Potret Represi dalam Perjuangan Agraria
Oleh: Tim JAGADECA
Skema kemitraan yang diperkenlkan di Kabupaten Buol oleh PT Hardaya Inti Plantations (HIP) sejak awal menjanjikan kesejahteraan. Petani diminta menyerahkan lahannya untuk dikelola perusahaan, dengan skema kerjasama pembangunan kebun plasma. Namun seiring berjalannya waktu, janji itu berubah menjadi jebakan. Hak petani atas bagi hasil kebun menjadi kabur, utang bertumpuk tanpa penjelasan, dan pengelolaan plasma dikendalikan sepihak oleh perusahaan. Ketika petani mulai menuntut kejelasan dan keadilan, mereka tak disambut dengan dialog—melainkan kekuatan.
Sejak awal 2023, PT HIP merespons aksi-aksi protes petani dengan pengerahan Pasukan Bersenjata (Satuan BRIMOB Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah) secara besar-besaran. Puncaknya terjadi pada tanggal 8 Februari 2024, sebulan setelah petani menghentikan operasional kebun sebagai bentuk perlawanan. Puluhan anggota Brimob bersenjata lengkap mendatangi tenda-tenda petani di Desa Maniala, dan menyasar warga Desa Jatimulya yang tengah kerja bakti di masjid. Salah satu personel menyatakan bahwa kehadiran mereka “hanya untuk dokumentasi,” namun aparat terus bermunculan hampir tiap pekan sejak awal Januari.
Meski petani tegas menolak, panen paksa terus berlangsung. Pada April 2024, buruh dan aparat kembali masuk ke kebun plasma milik Koperasi Awal Baru di di Desa Balau dan Maniala. Ketegangan memuncak saat Pak Mada Yunus, petani senior, menghadang. Ia didorong dan diintimidasi oleh buruh serta Ketua Koperasi yang berpihak pada perusahaan. Ibu Masnia, petani perempuan yang juga pembela HAM, ikut menghadang meski suaminya masih mendekam di penjara akibat kriminalisasi tahun 2021.
Tiga hari kemudian, 7 Mei, kekerasan benar-benar pecah. Petani yang mencoba menurunkan tandan buah sawit dari truk justru menjadi korban: Aris, Masnia, dan Mada Yunus didorong, dijambak, dipukul, bahkan dilempar ke tanah. Laporan polisi dilayangkan, namun belum ada tindakan berarti dari aparat.
Bentrok semakin brutal pada 10 Mei 2024. Petani kembali menghadang pengangkutan sawit. Mereka dikeroyok, dilempar ke parit, diinjak-injak. Mada Yunus pingsan. Anaknya yang tengah hamil juga dianiaya di rumah. Motor petani dibakar. Semua terjadi di bawah pengawalan aparat—dan dibiarkan begitu saja.
Tak hanya di Balau dan Maniala, ketegangan juga memuncak di Desa Winangun, wilayah plasma milik Koperasi Amanah. Pada akhir Juli 2024, lebih dari 150 aparat, termasuk Brimob, TNI, dan intel, mengepung kawasan kebun. Pos aparat didirikan di titik-titik strategis, bahkan di dalam kebun. Petani dicegat saat melintasi jalan umum yang telah mereka pakai selama bertahun-tahun. Bahkan untuk melihat lahannya sendiri pun mereka dilarang.
Keamanan ala militer terus berlanjut hingga saat ini. Di saat petani menuntut transparansi dan bagi hasil kebun kemitraan, PT HIP justru memanen paksa sawit dari kebun yang masih dalam sengketa—dengan dukungan kekuatan negara.
Hukum Dijadikan Senjata: Saat Petani Dituduh Melanggar

Tidak saja pengerahan aparat berlebih dan intimidasi, gelombang kriminalisasi makin masif. sebelumnya Pada 2021, lima pengurus Koperasi Awal Baru hasil dari Rapat Anggota Luar Biasa (RALB) dipenjara atas tuduhan menduduki lahan milik PT HIP—padahal itu adalah kebun kemitraan. Sejak saat itu, relasi berubah drastis: dari kerja sama menuju represi.
Di awal 2024, Mada Yunus ditetapkan sebagai tersangka. Ia dilaporkan oleh Ketua Koperasi yang pro-perusahaan, dengan tuduhan melanggar UU Perkebunan dan menghasut warga. Proses penyidikan dijalankan tanpa kejelasan. Surat panggilan datang silih berganti, status hukumnya berubah tanpa pemberitahuan resmi. saat ini Mada Yunus tengah menghadapi dakwaan di Pengadilan negeri Buol, atas tuduhan melanggar undang undang perkebunan dan penghasutan.
Tidak hanya Mada. Sejumlah petani dan pendamping dari Forum Petani Plasma Buol (FPPB) juga ikut dilaporkan ke Polda Sulteng. Nama-nama seperti Fatrisia, Japardin, Patra Jaya, Paulus Tato, hingga Mohamad Ali, Ketua Umum Aliansi Gerakan Reforma Agraria, ikut dipanggil. Bahkan anak di bawah umur pun turut menjadi sasaran. Skala kriminalisasi ini memperlihatkan bahwa hukum mulai digunakan bukan untuk melindungi, melainkan untuk membungkam.
Tuduhan Palsu ; Pencurian di Kebun Sendiri
Salah satu puncak absurditas terjadi pada Agustus 2024. Seorang petani, Saludin Mahadi dari Desa Winangun, dituduh mencuri tandan buah sawit—yang ia panen dari kebunnya sendiri. Polisi datang malam hari dengan tiga mobil dan pasukan lengkap. Tapi istrinya, Ibu Maning Abdul Azis, menghadang. Ia menolak upaya pemnjemputan untuk pemeriksaan malam dan meminta agar proses dilakukan secara terbuka di siang hari.
Besoknya, Saludin datang ke Polres Buol dengan kuasa hukum. Namun, laporan pencurian ternyata tidak terdaftar, dan tidak ada surat panggilan resmi. Pemeriksaan pun batal dilakukan.
Laporan Petani yang Terabaikan:

Tapi ditengah intimidasi, kekerasan, dan panen paksa di kebun plasma, para petani di Buol mencoba menempuh jalur hukum. Mereka membuat laporan resmi—bukan sekali, tapi berkali-kali—dengan harapan negara akan hadir untuk melindungi. Tapi yang mereka temukan justru sebaliknya: proses hukum yang macet, respons yang dingin, dan rasa keadilan yang terus menjauh.
Laporan demi Laporan, Tapi Tak Ada Tindakan
Petani bernama Listan pernah melaporkan Sulaiman Batalipu selaku Ketua Koperasi Awal Baru, beserta sekretaris dan bendahara koperasi, atas dugaan penggelapan dana. Penetapan tersangka sebenarnya sudah dilakukan sejak 2021, namun hingga pertengahan Mei 2024, kasus ini tak kunjung bergerak. Tidak ada kejelasan, tidak ada perkembangan.
Kasus serupa juga dilaporkan oleh Mada Yunus pada Februari 2024, terkait dugaan penipuan oleh orang yang sama. Namun laporan itu pun hanya menggantung di meja penyidik, tanpa tindak lanjut yang jelas.
Sementara kekerasan fisik terhadap petani terus berulang di kebun plasma, mereka yang menjadi korban pun mengajukan laporan. Tapi semua laporan itu seperti menguap di udara:
Aris Yunus melaporkan Sudirman Katinop, petugas keamanan perusahaan, atas dugaan penganiayaan.
Siti Nurbaya A. Abdullah melaporkan tindakan kekerasan terhadap suaminya, Mada Yunus. Hingga aktivis perempuan tani ini meninggal dunia, laporan polisi yang ia buat belum juga ditindak lanjuti pihak kepolisian.
Masnia Yunus yang juga seorang perempuan tani pembela HAM di desa tersebut juga menjadi korban penganiayaan saat sedang melakukan aksi penuntutan hak atas tanah keluarganya di lokasi kebun kemitraan sawit. Ia sudah melakukan visum dan pemeriksaan tahap awal, namun penegakan hukum juga mandek.
Lilis anak Mada mendapatkan penganiayaan dari pihak buruh PT. HIP dalam kondisi hamil 7 bulan, diserang di rumahnya sendiri saat sedang menjaga adik-adiknya. Hingga anaknya lahir dan mulai merangkak keadilan atas dirinya yang menjadi korban kekerasan, lagi-lagi mandek.
Sofyan Rahman dan Inda turut melaporkan kekerasan yang mereka alami di kebun kemitraan Awal Baru, setelah menjalani serangkaian visum dan peeriksaan tahap awal, hampir setahun kemudian pasca kejadian tak kunjung mendapat kejelasan hukum.
Laporan-laporan itu nyata. Nama pelaku disebut, waktu dan lokasi kejadian jelas. Tapi hasilnya nihil. Tak ada keadilan, tak ada perlindungan dari pihak berwenang.
Saat Hukum Justru Menindas
Ironisnya, ketika petani melaporkan pelanggaran yang mereka alami, laporan mereka diabaikan. Tapi saat perusahaan atau aparat melaporkan balik, proses hukum bergerak cepat, bahkan kilat.
Beberapa petani yang mengadukan panen sepihak dan tindakan sepihak perusahaan justru balik dilaporkan. Ada yang langsung dipanggil, diperiksa, bahkan ditetapkan sebagai tersangka dalam waktu singkat—seolah negara lebih cepat menanggapi suara perusahaan daripada jeritan rakyat.
Kontras ini begitu telanjang:
Laporan kekerasan oleh petani: berlarut-larut, tak ditindak. Laporan oleh perusahaan terhadap petani: segera diproses, dengan potensi kriminalisasi.
Ini bukan sekadar masalah teknis prosedur hukum. Ini menyiratkan bahwa hukum telah kehilangan arah keadilannya. Ia tak lagi netral, bahkan condong pada yang kuat. Dalam situasi seperti ini, hukum berubah menjadi alat untuk menindas, bukan melindungi.
Harapan yang Masih Bertahan
Meski lelah, para petani di Buol belum menyerah. Mereka masih percaya bahwa keadilan bisa diperjuangkan. Bahwa negara seharusnya hadir bukan untuk mengamankan investasi semata, tapi untuk melindungi rakyatnya—terutama yang paling lemah.
Apa yang dialami para petani Buol bukan cerita tunggal. Ini adalah potret dari ketimpangan struktural yang sistemik, yang juga terjadi di banyak daerah lain di Indonesia. Namun mereka ingin suaranya tetap terdengar. Karena pada akhirnya, mereka hanya ingin satu hal: keadilan yang sesungguhnya—bukan keadilan semu yang tunduk pada kekuasaan dan uang.
Kisah-kisah di atas menggambarkan wajah buram kemitraan sawit di Buol. Ketika tanah rakyat dikuasai, suara petani dibungkam, dan hukum dijadikan senjata, maka ini bukan lagi soal ekonomi atau investasi—ini adalah krisis keadilan. Ketika petani yang mempertahankan hak atas tanahnya justru dituduh sebagai penjahat, kita patut bertanya: hukum berpihak pada siapa?
Leave a Reply