ESG, Strategi Alternatif untuk Advokasi Sosial dan Lingkungan

Oleh: Tim Jaga Deca

Bayangkan dunia usaha yang tidak semata mengejar margin laba atau pertumbuhan kuartalan. Bayangkan bisnis yang meletakkan bumi, manusia, dan etika sebagai fondasi. Dalam bayangan inilah prinsip ESG hadir—lahir dari kegelisahan global: krisis iklim yang kian akut, ketimpangan sosial yang menganga, dan tata kelola yang rapuh hingga ke akar-akarnya.

ESG—singkatan dari Environmental, Social, dan Governance—mulanya berkembang sebagai tolok ukur bagi investor untuk menilai risiko non-keuangan perusahaan. Namun hari ini, ia menjelma menjadi arena tempat logika pasar bertemu dengan tuntutan keadilan. ESG bukan sekadar instrumen finansial, melainkan bahasa moral yang kini dipakai di meja rapat maupun di barisan masyarakat sipil—yang selama ini bergerak dari pinggiran, dari desa, dari tapak konflik.

Dimensi pertama, Environmental, menyoal relasi bisnis dengan bumi. Di sinilah ESG menuntut penurunan emisi, penghentian deforestasi, dan perlindungan keanekaragaman hayati. Ini bukan retorika hijau, melainkan pengakuan atas batas-batas ekologis yang tak bisa terus dilanggar. Sebab keuntungan yang dibangun di atas hutan gundul, sungai tercemar, dan udara beracun adalah keuntungan yang semu—dan akan berbalik menyerang.

Dimensi kedua, Social, menempatkan manusia bukan sebagai alat produksi, melainkan sebagai subjek yang bermartabat. ESG mewajibkan penghormatan atas hak-hak pekerja—dari upah layak hingga kebebasan berserikat. Ia juga menegaskan hak masyarakat adat atas tanah dan ruang hidupnya, serta menolak segala bentuk kerja paksa dan eksploitasi anak. Di sini ESG bersentuhan langsung dengan agenda hak asasi manusia.

Sementara dimensi ketiga, Governance, menggarisbawahi pentingnya tata kelola yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab. ESG bukan hanya soal laporan keuangan, tapi juga soal akuntabilitas moral. Bagaimana keputusan diambil? Siapa yang duduk di dewan direksi? Apakah pajak dibayar dengan patuh? Pertanyaan-pertanyaan ini tak lagi bisa dihindari.

Apa pentingnya ESG bagi gerakan advokasi?

Jawabannya sederhana: karena di balik perusakan lingkungan, konflik agraria, dan pelanggaran hak buruh, sering berdiri korporasi yang kebal kritik. ESG membuka celah dalam tembok kekebalan itu. Ia menciptakan medan baru untuk mendesak pertanggungjawaban—bukan hanya dari perusahaan, tapi juga dari para penyandang dananya: investor, lembaga keuangan, dan pasar modal. Pertanyaan seperti “Apakah investasi Anda sesuai prinsip ESG?” bisa lebih mengguncang dari ribuan orasi.

Lebih dari itu, ESG dapat menjadi alat perubahan dari dalam. Banyak perusahaan mulai merumuskan kebijakan nol deforestasi, membentuk mekanisme pengaduan warga, hingga memperbaiki kemitraan dengan petani. Semua itu tak semata karena tekanan hukum, tapi karena tekanan reputasi. Dalam logika ESG, reputasi adalah mata uang baru.

Tak kalah penting, ESG memberi legitimasi internasional bagi advokasi lokal. Kasus perampasan tanah, misalnya, yang biasanya berhenti di meja birokrasi, kini bisa dibawa ke forum global seperti OECD National Contact Point atau lembaga pendanaan internasional. Advokasi tak lagi dikurung oleh batas negara.

Lihat bagaimana ESG digunakan dalam isu kelapa sawit. Sebuah perusahaan yang merusak hutan, mencemari sungai, dan mempekerjakan buruh kontrak tanpa perlindungan, melanggar seluruh pilar ESG sekaligus. Di sinilah masyarakat terdampak bisa menyusun laporan tandingan, memobilisasi kampanye internasional, dan menekan bank atau investor agar mencabut pendanaan.

Tentu saja ESG bukan obat mujarab. Ia tidak otomatis menghapus ketimpangan atau menghentikan krisis iklim. Tapi ESG adalah bahasa baru yang kini dipakai pasar global. Dan jika kita mampu menguasainya, menggunakannya secara kritis dan strategis, maka kita bisa membalik arah kekuatan itu—membuat pasar tunduk pada logika keadilan, bukan sebaliknya.

Perjuangan hari ini tidak hanya berlangsung di jalanan atau ruang pengadilan. Ia juga terjadi di ruang rapat pemegang saham, dalam laporan keberlanjutan perusahaan, dan di panggung-panggung internasional tempat ESG menjadi tolok ukur baru. Mengenali ESG bukan berarti tunduk, melainkan cara untuk menundukkan. Bukan menyerah pada logika pasar, tapi membentuk ulang pasar dengan logika keberlanjutan dan kemanusiaan.

Dari lapangan ke laporan ESG, dari desa ke dewan direksi—perjuangan harus mampu menjelma dalam banyak bentuk. Dan ESG, jika dibaca dan digunakan dengan cermat, bisa menjadi alat perjuangan yang tak kalah tajam dari spanduk dan megafon: ia menyusup, menekan, lalu mengubah—dari dalam.

Referensi Tambahan:

  • United Nations Principles for Responsible Investment (UN PRI)
  • Global Reporting Initiative (GRI Standards)
  • OECD Guidelines for Multinational Enterprises
  • UN Guiding Principles on Business and Human Rights
  • Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD)
  • International Finance Corporation (IFC) Performance Standards