Hilirisasi Nikel: Investasi Asing Mengalir Deras, Tapi Siapa yang Diuntungkan?

Oleh: Tim JAGADECA

Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia menjadi magnet investasi tambang nikel. Namun, di balik gempita pembangunan smelter dan angka-angka investasi jumbo, ada pertanyaan besar yang perlu diajukan: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan?

Mayoritas proyek hilirisasi nikel di Indonesia saat ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asal Tiongkok. Investasi mereka menyebar luas di kawasan timur Indonesia—Sulawesi, Halmahera, hingga Maluku Utara. Laporan Skam Associates (2023) mencatat, sepanjang Januari hingga September 2023 saja, realisasi investasi untuk hilirisasi mencapai Rp 266 triliun, dengan lebih dari separuhnya atau sekitar Rp 151,7 triliun mengalir ke sektor mineral.

Salah satu proyek andalan pemerintah adalah Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah, yang digadang-gadang sebagai kawasan industri bahan baku baterai terbesar di dunia. Di sana, raksasa-raksasa industri baterai seperti CATL, GEM, Tsingshan Group, hingga perusahaan Jepang Hanwa telah menanamkan modalnya. Investasi awalnya mencapai 720 juta dolar AS, dan dalam lima tahun ditargetkan meningkat hingga 4,2 miliar dolar AS sejak 2019.

Pemerintah Indonesia mengklaim hilirisasi nikel berhasil menciptakan nilai tambah fantastis: pada 2022, nilainya mencapai 33 miliar dolar AS atau sekitar Rp 514 triliun. Padahal empat tahun sebelumnya, angka itu hanya 3,3 miliar dolar AS. Namun pertumbuhan ini menimbulkan paradoks. Meskipun ekspor nikel mentah sudah dilarang sejak 2020, nyatanya sebanyak 5,3 juta ton nikel mentah tetap diekspor ke Tiongkok pada tahun itu.

Indonesia memang terus mencatatkan peningkatan produksi nikel, bahkan diperkirakan memproduksi 1,8 juta metrik ton ferro nickel pada 2023. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai pemimpin pasar nikel dunia. Kementerian Perindustrian memperkirakan bahwa mengolah bijih nikel menjadi ferro nickel dapat meningkatkan nilai tambah hingga hampir 7 kali lipat.

Namun sayangnya, keuntungan besar dari hilirisasi ini justru lebih banyak mengalir ke kantong investor asing, terutama dari Tiongkok. Pemerintah bahkan memberi karpet merah berupa pembebasan pajak ekspor (tax holiday) hingga 25 tahun dan royalti 0 persen bagi investor yang tidak melakukan penambangan langsung, meski mereka menikmati seluruh hasil pengolahan nikel. Sebaliknya, penambang lokal dipaksa menjual bijih nikel ke smelter dengan Harga Patokan Mineral (HPM) yang lebih murah dari harga pasar dunia.

Skema seperti ini menyerupai monopoli terselubung. Larangan ekspor bijih nikel membuat penambang lokal tak punya pilihan lain selain menjual ke smelter yang dikuasai oleh investor asing. Tiongkok pun tak perlu membayar PPN, namun mendapat keuntungan penuh dari lonjakan nilai tambah hasil pengolahan nikel. Ditambah lagi, mereka tak terikat secara langsung pada kewajiban sosial dan lingkungan sebagaimana yang dibebankan kepada pelaku industri domestik.

Sementara itu, Indonesia justru kalah dalam gugatan Uni Eropa di WTO pada Oktober 2022. WTO menilai hilirisasi nikel Indonesia belum cukup matang untuk memberlakukan larangan ekspor. Artinya, pembangunan industri dalam negeri dinilai belum mampu menggantikan peran pasar global secara adil.

Lebih jauh, ketergantungan pada investasi asing membuat Indonesia rentan terhadap guncangan ekonomi Negeri Tirai Bambu. Apalagi ketika keuntungan besar justru dinikmati pihak luar, bukan rakyat atau negara sendiri. Jika kondisi ini terus dibiarkan, hilirisasi nikel justru akan menjadi jebakan ketergantungan baru alih-alih menjadi jalan keluar dari ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

Untuk memastikan hilirisasi benar-benar memberi manfaat bagi bangsa, evaluasi total terhadap kebijakan harus segera dilakukan. Pemerintah perlu mendorong penerapan pajak progresif atas produk turunan nikel, memperketat regulasi lingkungan dan sosial, serta membatasi ekspansi produksi yang tidak berkelanjutan. Insentif fiskal juga harus diberikan secara selektif dan berbasis pada pencapaian manfaat nyata bagi masyarakat lokal dan penerimaan negara.

Indonesia memiliki 2,6 miliar ton cadangan nikel yang bisa bertahan 27 tahun ke depan. Potensi ini sangat besar, tetapi juga rapuh jika tidak dikelola dengan kedaulatan dan visi jangka panjang. Jangan sampai nikel, yang disebut-sebut sebagai “emas baru” di era transisi energi ini, justru membuat Indonesia semakin memperkokoh pelayanan terhadap kepentingan industri asing.

Potret Ketenagakerjaan di Kawasan Industri PT IMIP

Kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terus bergerak, dan bersama itu pula kebutuhan akan tenaga kerja terus meningkat. Iklan lowongan kerja hampir selalu tersedia, terutama melalui jalur daring. Tak kurang dari 50.000 orang tercatat bekerja di kawasan ini. Bahkan, Bupati Morowali pernah menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja di IMIP mencapai 72.000 orang, termasuk sekitar 5.000 tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok yang bekerja di berbagai posisi kunci, terutama di level pengawasan dan teknis.

Mayoritas buruh IMIP adalah lulusan SMA atau sederajat. Sementara itu, lulusan perguruan tinggi biasanya direkrut melalui program campus hiring atau magang. Perekrutan tenaga kerja lokal dilakukan oleh manajemen IMIP, dan setelah lulus seleksi, para pekerja baru akan ditempatkan di berbagai perusahaan di dalam kawasan industri tersebut.

Rekrutmen Buruh

Proses rekrutmen tenaga kerja di kawasan industri IMIP berlangsung melalui berbagai jalur, masing-masing dengan karakteristik, keuntungan, dan persoalan tersendiri. Dari empat jalur utama yang ada, e-recruitment menjadi yang paling umum digunakan. Calon pekerja diminta mendaftar secara daring melalui situs resmi IMIP dengan mengisi formulir serta mengunggah dokumen seperti CV, SKCK, KTP, dan Kartu Keluarga. Meskipun terdengar praktis dan terpusat, sistem ini justru dikenal lambat karena tingginya volume pendaftar. Ribuan orang disebut masih mengantre, menunggu giliran untuk bisa diterima bekerja.

Selain sistem daring, IMIP juga aktif membangun koneksi dengan institusi pendidikan tinggi, terutama melalui program campus hiring. Tim rekrutmen mereka secara rutin mengunjungi kampus-kampus teknik, khususnya yang memiliki jurusan mesin, elektro, pertambangan, sipil, dan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Mahasiswa yang lolos seleksi akan dihubungi lewat WhatsApp dan mengikuti proses wawancara—baik langsung maupun melalui video call. Jika dinyatakan lolos, mereka bisa menerima offering letter tanpa menunggu terlalu lama, bahkan sebelum lulus kuliah.

Jalur lainnya adalah rekrutmen khusus bagi warga lokal. Melalui kerja sama dengan pemerintah daerah, IMIP berupaya memberikan prioritas kepada masyarakat Kabupaten Morowali untuk bisa terserap sebagai tenaga kerja. Sayangnya, tidak ada data pasti yang tersedia mengenai seberapa besar komposisi tenaga kerja lokal dalam struktur buruh IMIP secara keseluruhan. Meski disebut sebagai prioritas, transparansi rekrutmen masih menjadi persoalan yang sering dikeluhkan.

Jalur terakhir, dan mungkin yang paling problematik, adalah rekrutmen melalui perusahaan penyalur tenaga kerja yang tumbuh di sekitar kawasan industri. Beberapa perusahaan ini bahkan didirikan oleh mantan buruh IMIP. Sayangnya, alih-alih menjadi jembatan bagi calon pekerja, jalur ini kerap menjadi lahan subur praktik jual-beli tenaga kerja. Perekrutan tak jarang diwarnai pungutan liar, perjanjian kerja yang tak jelas, hingga pemotongan upah sepihak.

Keempat jalur ini mencerminkan kompleksitas dunia kerja di IMIP—dari yang tampak modern dan profesional, hingga yang rentan terhadap eksploitasi terselubung. Bagi para pencari kerja, masuk ke kawasan ini bukan sekadar menaruh harapan, tetapi juga menghadapi realitas keras dunia industri yang kerap mengabaikan hak-hak paling dasar buruhnya.

Proses rekrutmen di IMIP cukup panjang dan bertahap. Setelah lolos seleksi awal, calon buruh akan menjalani wawancara dan psikotest. Bila lolos, mereka akan dipanggil untuk tes kesehatan (Medical Check Up). Dalam beberapa kasus, terutama campus hiring, calon pekerja mendapat offering letter yang berisi penawaran gaji, jenis pekerjaan, sistem kerja (misalnya sistem 3 shift), dan tunjangan.

Jika menyetujui tawaran tersebut, calon buruh harus mengirimkan dokumen tambahan dan konfirmasi kehadiran. Setelah lulus MCU, mereka mengikuti registrasi ulang dengan membawa belasan dokumen, termasuk rekening bank, sebelum tahu akan ditempatkan di perusahaan mana dan di divisi apa. Proses berikutnya adalah mengikuti serangkaian pelatihan atau induksi, mulai dari keselamatan kerja (safety), pengenalan BPJS, hingga kontrak kerja berdurasi 3 atau 6 bulan.

Sayangnya, proses rekrutmen tak lepas dari praktik pungutan liar. Banyak calon buruh harus membayar antara Rp6 juta hingga Rp10 juta untuk bisa diterima bekerja. Ini biasanya terjadi melalui “orang dalam”, baik yang bekerja di HRD maupun di level pengawas. Fenomena ini juga terjadi dalam proses mutasi atau perpindahan kerja antar divisi dan perusahaan.

Meski disebut menggunakan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), nyatanya banyak buruh harus melalui masa percobaan dan kontrak pendek terlebih dahulu. Ada pula buruh magang yang berasal dari kampus, dengan upah minimum kabupaten, bukan upah sektoral. Mereka ditempatkan di posisi yang sama dengan buruh biasa namun dengan hak yang lebih sedikit.

Ada pula istilah “buruh titipan”, yakni mereka yang diterima di satu perusahaan tapi ditempatkan sementara di perusahaan lain yang sudah beroperasi. Mereka tidak mendapat tunjangan produksi dan status kerjanya pun rentan. Praktik ini umum terjadi, apalagi seiring dengan pembangunan perusahaan-perusahaan baru di kawasan IMIP.

Buruh di IMIP bisa dimutasi ke perusahaan lain, meski masih dalam satu kawasan. Namun, perpindahan ini sering kali digunakan untuk menghapus masa kerja yang sudah lama. Contohnya, seorang buruh yang sudah bekerja tujuh tahun di PT SMI bisa dipindah ke PT OSMI dan masa kerjanya direset. Ada pula transaksi jual-beli posisi kerja saat mutasi, yang biasanya melibatkan supervisor dan HRD.

Jam Kerja dan Lembur Wajib

Di kawasan industri IMIP, hampir seluruh perusahaan beroperasi tanpa henti selama 24 jam. Demi menjaga laju produksi yang terus digenjot, diterapkan tiga jenis sistem kerja. Pertama, sistem kerja reguler yang berlangsung dari pukul 07.00 hingga 17.00, dengan waktu istirahat selama dua jam. Kedua, sistem kerja shift yang dibagi ke dalam tiga kelompok—shift A, B, dan C—masing-masing memiliki ketua kelompok, beberapa anggota, serta diawasi langsung oleh tenaga kerja asing (TKA) untuk memastikan operasional berjalan lancar. Ketiga, ada sistem kerja long shift, di mana para pekerja bisa menghabiskan waktu hingga 12 jam di dalam pabrik, hanya dengan dua kali istirahat masing-masing selama 30 menit.

Di atas sistem kerja yang berat itu, lembur bukanlah pilihan. Ia bersifat wajib. Buruh reguler harus lembur minimal satu jam, buruh shift juga diwajibkan lembur, dan pekerja long shift bahkan bisa dipaksa lembur hingga empat jam tambahan. Dalam kondisi seperti itu, tubuh dan pikiran buruh terus dipacu tanpa cukup waktu pemulihan, menjadikan keselamatan kerja sebagai hal yang rapuh dan mudah dikorbankan.

Masalah menjadi semakin kompleks ketika kita melihat soal upah. Pada tahun 2021, upah minimum kabupaten Morowali ditetapkan sebesar Rp2.823.965, sedangkan upah sektoral mencapai Rp3.650.000. Namun kenyataannya, banyak buruh—terutama mereka yang masih magang atau baru direkrut—hanya menerima upah di kisaran UMP. Sistem pengupahan masih jauh dari transparan, dan hak-hak buruh kerap diabaikan. Di tengah sistem kerja yang keras, tekanan lembur, dan pengawasan ketat, buruh nyaris tak memiliki ruang untuk menuntut keadilan, apalagi menolak perlakuan yang tidak manusiawi.

Kecelakaan Kerja di IMIP: Jerat Mematikan di Pusat Nikel Nasional (2023–2025)

Di balik kemegahan kawasan industri nikel terbesar di Indonesia, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), terhampar kenyataan pahit yang terus menelan korban jiwa. Sejak tahun 2023 hingga 2025, rentetan kecelakaan kerja terus terjadi. Suasana kerja yang penuh risiko, standar keselamatan yang longgar, dan lemahnya pengawasan pemerintah telah menciptakan “kuburan sunyi” bagi para buruh di balik deru tungku dan kobaran api.

Ledakan, Kebakaran, dan Tewasnya Buruh

Puncak kengerian di kawasan IMIP terjadi pada malam Natal, 24 Desember 2023. Sebuah ledakan dahsyat mengguncang pabrik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), menewaskan 18 orang dan melukai puluhan lainnya. Tragedi itu bermula dari proses perbaikan tungku smelter yang dilakukan tanpa pembersihan menyeluruh. Sisa cairan nikel yang masih aktif di dalam tungku memicu ledakan besar. Insiden ini menjadi titik balik yang menggugah perhatian publik terhadap brutalnya kondisi kerja di kawasan industri ini.

Namun, rentetan tragedi tidak berhenti di situ. Sepanjang tahun 2024, kecelakaan kerja terus menghantui para buruh di berbagai pabrik dalam kawasan IMIP. Pada 21 Januari, dua pekerja terluka akibat ledakan gas di PT Sulawesi Mining Investment. Hanya sepuluh hari berselang, pada 31 Januari, tiga orang mengalami cedera karena sengatan listrik di PT RISUN Wei Shan Indonesia. Tragedi lain terjadi pada 20 Maret, ketika kebocoran gas di PT Merdeka Tsingshan Indonesia menyebabkan 40 pekerja sesak napas.

Korban jiwa kembali berjatuhan pada 28 September, ketika seorang buruh tergelincir dari conveyor belt di PT Walsin Nickel Industrial Indonesia dan meninggal dunia. Beberapa minggu kemudian, pada 25 Oktober, kebakaran di PT Dexin Steel Indonesia menewaskan satu orang dan melukai satu lainnya. Belum sempat pulih dari luka, kawasan ini diguncang lagi oleh ledakan di PT Zhongtsing New Energi pada 30 Oktober. Bahkan, di pertengahan tahun yang sama, tepatnya 13 Juni 2024, dua pekerja di ITSS mengalami luka bakar serius setelah terkena semburan uap panas dari tungku yang masih aktif.

Harapan akan perbaikan di tahun 2025 pun sirna sejak awal. Dalam waktu satu bulan setelah peringatan Bulan K3 Nasional—yang seharusnya menjadi momentum peningkatan keselamatan kerja—tiga insiden besar kembali terjadi. Pada 5 Februari, Eko Julisnain, seorang buruh shift malam di PT ITSS, meninggal dunia setelah tertimpa gulungan baja. Empat hari kemudian, 9 Februari, seorang pekerja kontraktor di PT Dexin Steel Indonesia harus menjalani amputasi tangan akibat kecelakaan kerja. Hanya sepekan setelah itu, 16 Februari, seorang buruh di PT Ocean Sky Metal Industry kehilangan nyawanya setelah tertimpa balok nikel seberat 150 kilogram.

Rangkaian kecelakaan ini bukan sekadar deretan angka, melainkan catatan luka yang menggambarkan betapa nyawa buruh dipertaruhkan demi keuntungan industri. Dan sampai hari ini, belum terlihat tanda-tanda perubahan berarti.

Sistem K3 yang Gagal Melindungi

Gelombang kecelakaan kerja yang terus terjadi di kawasan IMIP bukanlah akibat dari nasib buruk semata. Di balik setiap insiden yang merenggut nyawa atau melukai buruh, tersembunyi pola-pola sistemik yang membahayakan keselamatan mereka setiap hari. Sejumlah investigasi dan kesaksian pekerja menunjukkan bagaimana keselamatan kerja diabaikan secara struktural dan disengaja.

Banyak buruh dipekerjakan tanpa pelatihan memadai. Mereka hanya disuruh menghafal prosedur keselamatan kerja—tanpa pernah benar-benar dibekali keterampilan teknis atau simulasi di lapangan. Ketika masuk ke lokasi kerja, mereka berhadapan dengan peralatan yang jauh dari standar: mesin-mesin bekas, alat pelindung yang rusak atau tidak tersedia, hingga kondisi kerja yang semestinya tidak layak untuk manusia.

Pengawasan terhadap keselamatan kerja pun sangat lemah. Perusahaan yang berkali-kali melanggar aturan tidak pernah mendapatkan sanksi tegas. Alih-alih memperbaiki, mereka justru merasa kebal hukum. Ketika kecelakaan terjadi, laporan sering dimanipulasi atau disembunyikan. Serikat pekerja tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga suara buruh sepenuhnya diabaikan.

Masalah ini semakin parah karena sebagian besar buruh bekerja dalam sistem kontrak dan outsourcing. Mereka hidup dalam tekanan tinggi, tanpa jaminan kerja yang layak, serta dipaksa memenuhi target produksi yang tidak realistis. Jam kerja yang panjang dan sistem pengawasan internal yang otoriter membuat keselamatan buruh dianggap sebagai penghambat efisiensi, bukan sebagai hak dasar yang harus dilindungi.

Tuntutan yang Tak Kunjung Dijawab

Di tengah gelombang kecelakaan kerja yang tak kunjung reda, berbagai organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh menyerukan perubahan nyata. Mereka menuntut agar keselamatan buruh tidak lagi dijadikan korban dalam roda produksi yang terus dipacu. Tuntutan yang diajukan bukanlah hal yang mustahil, tetapi merupakan langkah minimum untuk menjamin keselamatan dan martabat pekerja.

Audit menyeluruh terhadap seluruh perusahaan di kawasan IMIP menjadi salah satu desakan utama. Audit ini harus dilakukan secara independen, melibatkan tim ahli, lembaga pengawasan eksternal, dan tentu saja perwakilan dari serikat pekerja. Tanpa keterlibatan buruh, proses pengawasan hanya akan menjadi formalitas.

Standar keselamatan kerja juga harus ditingkatkan secara drastis. Pemerintah pusat dan daerah didesak melakukan inspeksi rutin dan menyeluruh, bukan sekadar kunjungan seremonial yang menutup mata terhadap pelanggaran di lapangan.

Perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar aturan keselamatan harus dikenai sanksi tegas—bukan hanya denda kecil, tetapi hingga pencabutan izin operasi jika perlu. Nyawa buruh tak boleh lagi dipertaruhkan demi keuntungan.

Di saat yang sama, korban dan keluarga harus mendapatkan kompensasi yang layak, transparan, dan tidak berbelit-belit. Banyak keluarga buruh yang kehilangan pencari nafkah utama hanya menerima santunan seadanya, bahkan tak jarang dilupakan begitu saja setelah kasus meredup.

Yang tak kalah penting adalah memperkuat posisi serikat buruh dan memberikan perlindungan nyata bagi mereka yang berani mengadukan pelanggaran keselamatan kerja. Tanpa keberanian para buruh bersuara, banyak tragedi akan terus tersembunyi di balik tembok pabrik.

Sayangnya, hingga hari ini, mayoritas tuntutan tersebut belum dijawab dengan keseriusan. Pemerintah masih cenderung pasif, dan perusahaan lebih sibuk mengelola citra ketimbang memperbaiki sistem yang membunuh perlahan. Ketika keselamatan kerja dianggap biaya tambahan, maka buruh akan terus menjadi tumbal industrialisasi yang timpang dan tak manusiawi.

Di Balik Deru Tungku: Buruh Terbakar, Negara Diam

Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) kerap dipuja sebagai simbol keberhasilan industrialisasi Indonesia. Namun kenyataannya, mimpi itu dibangun di atas nyawa dan darah para buruh. Mereka datang dengan harapan bisa mengubah nasib—membangun rumah, menyekolahkan anak, dan menjalani hidup yang lebih layak. Tapi yang mereka temui justru jeratan jam kerja panjang, sistem kerja yang tidak aman, dan risiko kematian yang menghantui setiap hari.

Ini bukanlah industrialisasi dalam arti sejatinya. Bukan pembangunan ekonomi nasional yang adil dan berdaulat, melainkan proses pengerukan sumber daya alam dan eksploitasi tenaga kerja murah yang diserahkan sepenuhnya kepada kepentingan industri asing. Nama-nama perusahaan multinasional mendominasi papan proyek, sementara keringat dan nyawa buruh lokal menjadi bahan bakar mesin keuntungan mereka.

Lonjakan angka kecelakaan kerja di IMIP sejak 2023 hingga 2025 bukan sekadar serangkaian insiden. Ia mencerminkan masalah yang jauh lebih dalam—masalah struktural dan politis: tentang siapa yang diuntungkan, siapa yang dikorbankan, dan siapa yang dibiarkan mati dalam diam.

Di saat yang sama, IMIP telah mengubah lanskap Morowali secara drastis. Bukit-bukit digusur, hutan dibabat, laut tercemar limbah industri. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan warga kini menjadi saluran racun. Ekosistem rusak, ruang hidup menyempit, dan masyarakat lokal kehilangan tanah, udara bersih, serta laut yang dulu menjadi sumber pangan dan budaya mereka.

Inilah wajah industrialisasi kita hari ini: bukan pembangunan nasional yang berdaulat dan adil, tetapi kolonialisme gaya baru—di mana sumber daya alam dan tenaga kerja murah dieksploitasi demi keuntungan segelintir investor asing. Rakyat hanya jadi penonton, atau lebih buruk, menjadi korban.